Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
Technology

Robot Polisi & Anjing Robot: Inovasi Polri, Apa Fungsinya?

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menampilkan lebih dari 20 unit robot dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-79. Robot-robot ini hadir dalam berbagai wujud, mulai dari yang menyerupai manusia (robot humanoid), anjing (robot dog), tank, drone, hingga “Ropi” (robot pintar).

Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, menegaskan bahwa pengadaan robot semacam ini telah menjadi praktik umum di banyak negara. Ia mencontohkan Thailand dengan robot humanoid-nya, Uni Emirat Arab (Dubai) yang telah memanfaatkan robot untuk tugas kepolisian, serta China yang telah menguji coba robot polisi untuk patroli. Singapura bahkan mengembangkan kecoak cyborg untuk misi pencarian dan penyelamatan (SAR).

Menurut Sandi, proyek robot ini telah menjadi bagian dari rencana strategis Polri untuk periode 2025 hingga 2045. Khusus untuk program robot anjing, alokasi anggaran akan dimulai pada tahun 2026.

Polri mengakui bahwa masyarakat Indonesia “masih awam” dengan penggunaan robot dalam tugas keamanan. Namun demikian, mereka mengklaim “antusiasme masyarakat benar-benar di luar ekspektasi,” menunjukkan respons positif yang mengejutkan.

Di sisi lain, rencana pengadaan robot ini menuai sorotan tajam dari peneliti antikorupsi dan pegiat hukum. Isu akuntabilitas kebijakan mencuat karena tidak ditemukannya dokumen resmi sebagai dasar pengadaan robot-robot tersebut. Dari segi prioritas, kebijakan ini dinilai belum relevan mengingat masalah utama kepolisian di Indonesia tidak berkorelasi langsung dengan teknologi. Lebih jauh, dari sisi biaya, satu unit robot humanoid diperkirakan memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan alokasi untuk reparasi dan perawatan mobil Brimob di Polda Bengkulu (Rp200 juta) atau perawatan gedung Rumah Sakit Bhayangkara di Blora, Jawa Tengah (Rp89 juta).

Terinspirasi aparat di China dan Dubai

Dalam pengembangan proyek robot ini, Polri tidak bekerja sendiri. Mereka menggandeng PT Sari Teknologi, sebuah perusahaan riset dan edukasi teknologi yang berfokus pada pengembangan robot dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Didirikan oleh Yohanes Kurnia pada tahun 2006 di Jakarta, PT Sari Teknologi berlandaskan keyakinan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam inovasi robotik.

“Sari terbentuk karena sebuah ide bahwa Indonesia perkembangan robotnya seharusnya tidak kalah dari negara-negara lain,” jelas Yohanes. Ia menambahkan bahwa selama ini penggunaan robot di Indonesia cenderung hanya sebatas pada end user. “Intinya, kami ingin anak Indonesia membuat robotnya sendiri dan tidak cuma membeli dari luar [negeri],” tegas Yohanes.

Keterlibatan Yohanes yang mendalam dalam industri robot membuatnya dijuluki “Tony Stark dari Cengkareng” oleh salah satu media massa nasional. Perjalanan PT Sari dalam membangun ekosistem robotik di Indonesia perlahan membuahkan pengakuan, termasuk dari Polri.

Sebelum kolaborasi dengan kepolisian, PT Sari Teknologi memiliki rekam jejak panjang dalam berbagai inovasi, mulai dari sistem parkir otomatis, robot pembersih, hingga alat bantu pernapasan selama pandemi Covid-19. Salah satu produk unggulan mereka adalah Robot Pintar Indonesia (Ropi), yang dirancang untuk memberikan layanan pelanggan yang ramah dan efektif di berbagai industri. Ropi beroperasi berdasarkan aplikasi dan deteksi wajah (face recognition) yang terhubung dengan mesin AI, melayani kebutuhan konsumen seperti berbelanja, membeli tiket bioskop, atau memesan makanan.

Selain PT Sari Teknologi, Polri juga melibatkan Ezra Robotics, perusahaan teknologi yang berfokus pada robot berkaki empat (quadruped). Ezra Robotics mengimpor dan mengembangkan produk buatan China dari pabrikan Deep Robotics. Sebulan sebelum peringatan HUT Bhayangkara, pada Mei 2025, Ezra Robotics berkolaborasi dengan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) untuk memproduksi robot anjing, dengan tujuan “menjawab kebutuhan industri dan masyarakat.” Teknologi ini nantinya akan dilengkapi sistem navigasi, sensor, dan kecerdasan buatan, memungkinkannya bergerak mandiri atau menerima perintah verbal.

Bos PT Sari Teknologi, Yohanes Kurnia, menyatakan bahwa teknologi yang ditawarkan pihaknya “menyesuaikan kebutuhan unik kepolisian.” Robot humanoid, dengan desain seperti manusia, akan dimanfaatkan untuk tugas pelayanan serta pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Polri mengklaim robot humanoid efektif untuk pemindaian wajah dan pemantauan pelanggaran lalu lintas secara elektronik. Selain itu, robot ini disebut lebih dinamis berkat kemampuan bergerak bebas dan pandangan 360 derajat. Polri terinspirasi oleh aparat di China dan Dubai yang telah menggunakan humanoid untuk patroli serta pelayanan perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM).

“Untuk robot humanoid hampir sama. Untuk melakukan scanning, identifikasi biometrik Polri, pengenalan wajah di tempat-tempat keramaian, dan untuk pemantauan pada jalur-jalur rawan pelanggaran lalu lintas,” papar Juru Bicara Polri, Irjen Sandi Nugroho. Yohanes sendiri menambahkan bahwa robot humanoid “masih terus dikembangkan dan diadaptasikan dengan keperluan kepolisian di masa depan.” Ia menegaskan, “Kami masih memerlukan ribuan jam uji coba dan penyempurnaan algoritma sebelum mencapai tingkat operasional penuh.”

Sementara itu, robot anjing seri I-K9 yang digarap Ezra Robotics diklaim mampu beroperasi maksimal empat jam. Dilengkapi AI untuk menganalisis perilaku, I-K9 akan dioperasikan untuk mendeteksi bahan dan benda berbahaya, misi penyelamatan bencana alam, serta pembubaran massa demonstrasi melalui suara ultrasonik. “Namun, ini lebih efektif karena tidak perlu kita beri makan setiap hari, tidak perlu proses latihan dan tenaga pawang, tahan cuaca ekstrem, dan sebagainya,” ujar Sandi.

Secara umum, Polri berharap keberadaan robot-robot ini dapat menunjang kinerja institusi, menciptakan penegakan hukum yang akuntabel dan humanis. Polri menegaskan bahwa robot-robot tersebut sama sekali tidak akan menggantikan posisi atau tugas anggota kepolisian. Sebaliknya, robot akan dikedepankan dalam situasi berisiko tinggi untuk mengurangi paparan bahaya terhadap personel manusia. “Robot-robot ini, di masa depan, akan menjadi mitra strategis personel Polri. Mereka dirancang untuk mengambil peran di lokasi berisiko tinggi guna mengurangi paparan bahaya terhadap manusia, sekaligus meningkatkan akurasi operasi,” kata Inspektur Pengawasan Umum Polri, Komjen Dedi Prasetyo, pada Jum’at (27/06).

Dedi tidak menampik bahwa pengembangan robot oleh Polri masih dalam tahap permulaan dan memerlukan proses yang bertahap. “Kami mengakui bahwa teknologi ini masih dalam tahap pengembangan awal dan akan terus belajar dari praktik terbaik negara-negara maju,” pungkas Dedi.

Harga satu robot humanoid melebihi biaya perawatan Rumah Sakit Bhayangkara

Anggaran pasti untuk pengadaan robot oleh Polri belum dapat diketahui. Penelusuran BBC News Indonesia di laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Polri menggunakan kata kunci “robot,” “humanoid,” dan “PT Sari Teknologi” tidak membuahkan hasil.

Apabila merujuk pada perusahaan robotik luar negeri seperti Unitree, harga satu robot humanoid dibanderol mulai dari US$16.000 hingga US$90.000. Dengan demikian, satu robot bisa memiliki valuasi lebih dari Rp250 juta, dengan asumsi harga maksimal humanoid Polri sekitar US$16.000 menggunakan kurs terkini. Perhitungan ini menunjukkan bahwa harga satu robot humanoid lebih tinggi daripada nilai pagu paket biaya reparasi dan perawatan mobil Brimob di Polda Bengkulu (Rp200 juta), atau perawatan gedung Rumah Sakit Bhayangkara di Blora, Jawa Tengah (Rp89 juta).

Sementara itu, harga satu robot anjing dari Deep Robotics, perusahaan yang produknya diimpor Ezra Robotics, disebut “nyaris Rp3 miliar untuk model basic-nya sendiri,” kata Dhanni. Angka Rp3 miliar ini hampir menyamai nilai pagu paket konstruksi rumah dinas dengan tiga tipe (70, 45, dan 38) untuk Polres Bolaang Mongondow Utara, Sulawesi Utara, yang mencapai Rp4,7 miliar.

Pada tahun 2025, anggaran Polri ditetapkan sebesar Rp106 triliun, setelah dipotong sekitar 16% dari sebelumnya Rp126 triliun akibat kebijakan efisiensi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dari keseluruhan anggaran tersebut, 26,91% atau sekitar Rp34 triliun dialokasikan untuk belanja barang. Belanja barang merupakan elemen penting dalam distribusi anggaran Polri, dan pada tahun 2024 menjadi salah satu prioritas, ditujukan untuk penanganan tindak pidana narkoba, terorisme, keamanan laut, hingga pengawasan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengungkapkan bahwa lembaganya belum menemukan informasi mengenai perencanaan pengadaan robot. “Berdasarkan hasil penelusuran ICW terhadap perencanaan Polri dari Sistem Rencana Umum Pengadaan, tidak ditemukan adanya informasi mengenai perencanaan pengadaan robot,” kata Wana kepada BBC News Indonesia pada Selasa (01/07).

Menurut Wana, Polri wajib menjelaskan landasan aturan kerja sama dengan pengembang yang ditunjuk, terutama karena robot yang ditampilkan di HUT Bhayangkara masih dalam fase pengembangan. “Artinya telah ada perjanjian antara Polri dengan perusahaan teknologi sebagai pihak penyedia,” ujar Wana. Ia menambahkan, “Jika robot tersebut akan dibeli oleh Polri untuk 2026, maka idealnya perlu ada mekanisme lelang agar perusahaan yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam membuat robot dapat berkompetisi secara sehat.”

Dalam menjawab kebutuhan dan prioritas Polri, Wana menekankan pentingnya bagi Polri untuk membuka informasi mengenai grand strategy 2025-2045 dan rencana kerja 2026. “Sebab, sebelum melaksanakan belanja, perlu adanya identifikasi kebutuhan yang merujuk pada sejumlah dokumen perencanaan,” ucapnya. “Jika tidak ada kebutuhan di dalam sejumlah dokumen tersebut, maka pembelian robot oleh Polri dapat berpotensi melanggar ketentuan pengadaan barang atau jasa pemerintah,” tegas Wana.

Kasus ini bukan kali pertama ICW mempermasalahkan dan menggugat asas keterbukaan Polri. Pada Agustus 2023, ICW bersama sejumlah organisasi sipil seperti KontraS dan Trend Asia menuntut Polri membuka kontrak pembelian gas air mata, namun permintaan itu ditolak. ICW mengindikasikan “adanya informasi yang ditutupi Polri.” Tuntutan ini muncul sebagai respons terhadap dugaan pengerahan kekuatan secara eksesif oleh aparat keamanan terhadap warga sipil, salah satunya dengan gas air mata. Temuan ICW memperlihatkan bahwa Polri telah lima kali berbelanja gas air mata dalam rentang Desember 2023 hingga Februari 2024, dengan anggaran mencapai Rp188,9 miliar. Namun, dari lima paket pengadaan tersebut, ICW hanya menemukan satu paket yang menyajikan informasi jumlah amunisi yang dibeli, sedangkan empat lainnya “tidak tersedia informasi secara mendetail tentang jumlah peluru yang dibeli oleh Polri.” “Hal ini menyulitkan bagi publik untuk menagih akuntabilitas di saat proses penggunaan gas air mata dilakukan secara brutal dan serampangan,” tegas ICW pada Agustus 2024.

Risiko robot di sektor keamanan

Penggunaan robot dalam sektor keamanan bukan lagi sebatas fiksi. Perkembangan teknologi memungkinkan robot mengalami evolusi, baik dalam bentuk maupun kemampuan, serta semakin mampu mencapai tujuan tanpa campur tangan manusia (otonomi). Bagi kepolisian, robot menjanjikan peningkatan kinerja. Seperti yang dijelaskan Max Isaacs, Barry Friedman, dan Farhang Heydari dalam riset mereka, Regulating Police Robots (2025), robot yang dilibatkan polisi dipandang lebih unggul daripada petugas manusia.

Robot, yang dapat dikendalikan dari jarak jauh, menjaga keamanan petugas kepolisian dan menghindarkan mereka dari bahaya, misalnya dalam penjinakan bom. Robot juga dapat bermanuver leluasa di area yang sulit atau tidak mungkin dijangkau manusia. Yang tak kalah penting, robot selalu waspada, tidak pernah lelah, atau terganggu.

Namun, riset yang sama juga menyoroti risiko nyata dari kehadiran robot di sektor keamanan. “Robot yang sangat mobile dan dilengkapi kamera, sensor, serta daya analitik secara luas akan mempercepat penyebaran pengawasan polisi, dengan risiko yang menyertainya terhadap privasi individu,” tulis riset tersebut. “Munculnya robot, dengan kekuatan yang dimilikinya, menimbulkan pertanyaan etika yang mendalam serta memerlukan pertimbangan lebih serius seputar bagaimana robot diberi wewenang bertindak.”

Robot beroperasi dengan mengumpulkan data GPS (Global Positioning System), pengenalan wajah, hingga akses ke rekaman CCTV di sekitar area. Data-data ini kemudian diolah sebagai ‘pegangan’ dalam mengatasi suatu masalah. Penggunaan robot berpotensi mempertajam masalah sistemik dalam penegakan hukum karena dapat menargetkan tidak hanya pelaku kejahatan, tetapi juga “orang-orang biasa” yang mungkin tidak terkait dengan aksi kriminal. Selain risiko terhadap penegakan hukum, potensi kerusakan mesin atau malfungsi, seperti hancur, jatuh, atau meledak, juga sangat terbuka lebar.

Riset tersebut menyimpulkan bahwa penggunaan robot sudah semestinya dibarengi dengan implementasi aturan yang rigid. Di Indonesia, hingga saat ini, belum ada aturan spesifik mengenai ‘pemanfaatan’ robot dalam konteks keamanan.

Yang pertama dan utama bukanlah teknologi, kata pegiat hukum

Tidak lama menjelang perayaan HUT Bhayangkara ke-79, Polri tidak hanya mengumumkan robot-robot barunya, tetapi juga memperkenalkan kanal informasi bernama PoliceTube. Kabar mengenai PoliceTube muncul melalui pemberitaan pada 23 Juni 2025, ketika Polri mengumumkan kerja sama dengan PT Digital Unggul Gemilang—perusahaan yang minim jejak digital—untuk pengembangan dan pengelolaan platform tersebut. “Kehadiran PoliceTube ini diharapkan akan mengukir sejarah dan membawa harapan besar bagi pelaksanaan kehumasan di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia,” tandas Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Sandi Nugroho.

Kata kunci utama PoliceTube adalah “kehumasan.” Polri menyatakan PoliceTube berpeluang menjadi lompatan besar dalam penyebaran informasi mengenai kinerja institusi guna meningkatkan kepercayaan publik. PoliceTube diharapkan menjadi “platform video sharing yang mendukung transformasi digital institusi dalam rangka publikasi kepada masyarakat luas.”

Saat BBC News Indonesia mencoba mengakses PoliceTube, tampilannya menyerupai salah satu platform video populer, dengan berbagai fitur seperti riwayat tontonan, playlist, atau konten yang disukai, terletak di sisi kiri. Pengunjung dapat mencari video tertentu baik dengan membuat akun baru maupun tidak. Di bagian paling atas, PoliceTube menyediakan berbagai kategori video, mulai dari polda, polres, polsek, hingga yang berjenis kolaborasi. Kategori “polda” menautkan tautan ke akun-akun resmi polda di Indonesia. Rata-rata durasi video tidak sampai lima menit, dan jumlah penayangannya (views) di bawah 500. Sesuai tujuan pembentukannya, muatan kontennya tidak jauh dari sosialisasi kegiatan, update terkini kasus tertentu, siaran konferensi pers, hingga tayangan acara internal.

Kemunculan robot dan saluran PoliceTube diklaim Polri sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas kerja yang berpedoman pada pelayanan masyarakat serta pemenuhan keamanan dan ketertiban. Namun, apakah kedua hal ini, robot dan PoliceTube, merupakan kebutuhan mendesak atau bahkan relevan?

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menegaskan bahwa Polri seharusnya mengalihkan perhatian pada persoalan fundamental: penegakan hukum. Julius mencontohkan lambannya pemrosesan laporan pengaduan masyarakat yang menjadi korban tindak kejahatan. “Tindakan yang sering dilakukan kepolisian ini adalah undo delay. Laporan masyarakat tidak direspons atau dicuekin sama polisi,” ujarnya saat dihubungi BBC News Indonesia pada Selasa (1/7).

Nah, ini yang sering viral dan sehingga muncul istilah no viral, no justice. Jadi, kalau enggak viral, maka tidak akan ditangani kepolisian.” Polri sempat diprotes warganet perihal ini, melahirkan gelombang tagar #PercumaLaporPolisi. Warganet saling mengutarakan pengalaman buruk mereka berurusan dengan polisi yang dianggap tidak serius mengusut laporan tindak pidana.

Julius berpendapat bahwa akar permasalahan tersebut adalah lemahnya kapasitas anggota kepolisian dan rendahnya standar profesionalitas. Ia menegaskan, “maka tidak ada kaitannya dengan robot.” Jika Polri memang ingin memperkuat aspek digital dan mengikuti kemajuan teknologi, komitmen tersebut seharusnya dialihkan ke “dugaan tindak pidana yang marak dalam 10 tahun terakhir,” seperti kejahatan digital (judi online, penipuan via email/aplikasi, investasi bodong). “Kalau mau [menyelesaikan masalah] lewat digital dan teknologi, itu yang diperlukan,” tambahnya.

Julius menekankan bahwa rentetan kasus kejahatan digital sangat mengkhawatirkan, baik dari sisi taktik maupun penanganannya. PBHI bahkan pernah mengadvokasi kasus yang “sudah dua sampai tiga tahun tidak kunjung diselesaikan.” “Mangkrak begitu saja setelah bolak-balik tanpa kejelasan,” ujarnya.

Dalam konteks penyediaan robot, Julius menjelaskan bahwa nuansanya lebih kental akan ketertiban umum, seperti penanganan konsentrasi massa. Ia memandang robot tidak secara otomatis menyelesaikan keruwetan yang muncul selama kepolisian tidak berefleksi dan merapikan pangkal masalahnya terlebih dahulu.

Data KontraS, organisasi nonpemerintah yang mengawal isu keadilan dan penyelesaian HAM, mencatat bahwa Polri menjadi aktor di balik 602 peristiwa kekerasan sepanjang tahun 2025, tersebar dari Aceh hingga Papua. Dari angka keseluruhan, 411 peristiwa adalah penembakan, disusul penganiayaan (81), penangkapan sewenang-wenang (72), serta pembubaran paksa (43). Ada pula penyiksaan (38), intimidasi (24), kriminalisasi (9), kekerasan seksual (7), dan peristiwa tidak manusiawi lainnya (4).

Korban kekerasan polisi pada tahun 2025 mencapai 1.085 orang, dengan rincian 1.043 mengalami luka-luka dan 42 lainnya meninggal dunia. Setahun sebelumnya, pada 2024, Komnas HAM menetapkan kepolisian sebagai pihak yang paling sering dilaporkan dalam urusan pelanggaran HAM, dengan 350 aduan dari total 1.227 yang dihimpun pada semester pertama 2024. Polisi, menurut Komnas HAM, terlibat dalam serangkaian perkara seperti kelambatan memberikan layanan, kriminalisasi terhadap masyarakat, menghalangi proses hukum, hingga penyiksaan.

Kasus-kasus kejahatan dan kekerasan yang melibatkan kepolisian tak jarang terjadi karena relasi kuasa yang timpang. Di Grobogan, Jawa Tengah, Maret 2025, seorang pencari bekicot meninggal dunia diduga akibat disiksa polisi yang menuduhnya mencuri mesin pompa air—tudingan yang kemudian tidak terbukti. Di Balikpapan, pada 2019, seorang warga bernama Herman meninggal dunia dua hari setelah dibawa ke kantor polisi karena dituduh mencuri ponsel; enam polisi ditetapkan tersangka karena memukulinya. Selama 2011-2019, hampir 700 orang menjadi korban penyiksaan dalam tahanan oleh polisi, dengan 63 di antaranya meninggal dunia, penyiksaan seringkali digunakan untuk memperoleh pengakuan.

Level kekerasan oleh polisi terjadi dalam skala yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, termasuk kasus mantan Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur, Fajar Widyadharma Lukman, yang terbukti memerkosa tiga anak di bawah umur, merekamnya, dan menjualnya ke situs porno, serta mengonsumsi narkotika. Siklus kekerasan yang terus terulang, merujuk catatan Amnesty International Indonesia, berakar dari impunitas (kekebalan) di tubuh kepolisian itu sendiri. Polri, menurut Amnesty, “terkesan membiarkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan anggota kepolisian.” “Rentetan kasus pelanggaran HAM harus menjadi alarm yang serius bagi kepolisian untuk segera melakukan reformasi yang menyeluruh di tubuh kepolisian,” tulis Amnesty pada Maret 2025.

Maka dari itu, Julius menyimpulkan, “pengadaan alat ini menjadi satu capaian yang tidak relevan dengan tugas, pokok, dan fungsi [tupoksi] kepolisian apabila dihubungkan dengan urgensi yang dihadapi masyarakat.”

  • Sedikitnya 100 nyawa diduga melayang di tangan polisi dalam tiga tahun terakhir – ‘Mereka bukan sekadar angka, tapi nyawa manusia’
  • ‘Ironis anggota polisi yang seharusnya memberi rasa aman justru jadi pelaku kekerasan’ – Kontras temukan 622 kasus kekerasan oleh polisi setahun terakhir
  • Revisi UU Polri: ‘Perubahan aturan seharusnya fokus hentikan munculnya korban salah tangkap atau kekerasan polisi’
  • Mengapa orang tua Afif Maulana klaim kematian anaknya karena disiksa polisi di Sumbar?
  • Demo mahasiswa: ‘Hukum polisi yang terbukti melakukan kekerasan’
  • Kisah korban rekayasa kasus polisi: ‘Enggak ngaku begal, saya ditembak. Padahal saya enggak ngelakuin’
  • Badan perfilman teken kerja sama dengan polisi, pengembangan SDM atau ‘pengawasan’?
  • Pola kekerasan aparat terhadap demonstran yang menolak UU TNI menuai kecaman
  • Hakim vonis bebas polisi yang jadi terdakwa kasus pencabulan anak di Papua
  • Polisi penembak siswa SMK di Semarang jadi tersangka dan dipecat – Keluarga ungkap kejanggalan seputar kematian Gamma
  • Fakta-fakta polisi tembak polisi di Solok Selatan diduga terkait tambang ilegal
  • Tim forensik sebut Afif Maulana meninggal karena jatuh dari ketinggian, bukan dianiaya – ‘Dokter tidak menyampaikan secara utuh apa yang terjadi pada tubuh anak saya’
  • Repetisi ‘brutalitas polisi’ dalam demonstrasi revisi UU Pilkada, mengapa terus berulang?
  • ‘Orang asli Papua akan semakin takut’ – Mengapa Polri berencana rekrut 10.000 polisi baru di Papua?
  • Polisi gelar proyek tanam jagung 1,7 juta hektare – ‘Jagung yang ditanam di Jayapura menguning, petani tak kunjung dapat cangkul’

Related Articles

Back to top button