Polemik pelayanan BPJS Kesehatan – ‘Kami kaget kok disuruh pulang?’

Kendala pelayanan terhadap pasien pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kembali mengemuka. Selain penolakan pengobatan dari rumah sakit terhadap sejumlah pengguna BPJS Kesehatan, kini ada pasien yang harus kembali pasrah dipulangkan dalam kondisi belum sepenuhnya pulih.
Situasi yang pernah ramai diperbincangkan beberapa tahun sebelumnya ini muncul lagi di media sosial dan menguak banyak kejadian serupa.
Dengan wajah kesakitan dan perut makin bengkak, Teuku Nyak Cut (50) dipapah keluarga berjalan keluar ruangan.
Pasien BPJS Kesehatan ini dipulangkan setelah beberapa hari menjalani rawat inap di rumah sakit swasta di Deli Tua, Deli Serdang, Sumatera Utara, pada awal Januari 2025 lalu.
Sepekan setelah pulang, kondisi Cut tambah parah. Ia dibawa kembali ke rumah sakit tersebut. Namun akhirnya, ia meninggal dunia di ruang Intensive Care Unit (ICU) pada Februari 2025.
Pihak keluarga sempat heran ketika Cut diminta pulang dari rumah sakit padahal kondisi tubuhnya belum menunjukkan tanda-tanda membaik.
Ketika dikonfirmasi oleh keluarga, rumah sakit berdalih pemulangan Cut dengan alasan istirahat.
Peristiwa itu masih tersangkut di hati Farida, kakak kandung mendiang.
“Katanya: ‘pasien kami balikkan dulu supaya diistirahatkan di rumah selama seminggu. Setelah itu baru datang lagi untuk kontrol’. Kami kaget kok disuruh pulang padahal perutnya masih besar begitu?” ujar Farida kepada wartawan Nanda Fahriza Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (24/06).
Cut (50) merupakan warga Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut, Kabupaten Pakpak Bharat, Provinsi Sumatera Utara.
Jarak dari rumah sakit tempat tinggalnya sekitar 200 kilometer. Cut yang bekerja sebagai sopir pergi meninggalkan seorang istri dan tiga anak yang masih kecil.
Di tengah kondisi finansial yang pas-pasan, kesehatan Cut menurun akhir tahun lalu. Ia diduga mengalami sakit pada organ hati.
Cut sempat dilarikan ke rumah sakit setempat sampai kemudian dirujuk ke rumah sakit tempatnya berpulang yang berada di Kabupaten Deli Serdang pada 29 Desember 2024.
Selama berada di rumah sakit, Cut mendapat berbagai penanganan. Mulai dari transfusi darah hingga penyedotan cairan perut. Walau demikian, kondisinya tidak membaik.
“Perut adik saya sempat kempes setelah disedot, tapi kemudian bengkak lagi. Setelah 14 hari di rumah sakit, kami disuruh pulang, katanya istirahat. Seharusnya istirahat yang baik, ya, di rumah sakit. Karena di situ ada dokter, ada tindakan medis. Ini kenapa disuruh pulang ke rumah?” ujar Farida.
Pengalaman nyaris serupa juga dialami Arindra (38) yang harus kehilangan adiknya, Alif Budi (35), pada 2022.
Selama dua tahun, Alif disebut memiliki penyakit tuberkulosis dan ditangani di rumah dengan menyediakan tabung oksigen kecil langsung yang bisa dibeli di apotek.
Hari itu, kondisi Alif memburuk. Dalam kondisi sesak napas, ia langsung dibawa ke rumah sakit di Labuang Baji, Makassar, Sulawesi Selatan.
“Tapi di rumah sakit itu akhirnya tidak ditangani alasannya karena BPJS. Itu saya bawa karena kondisinya parah, orang sudah sesak napas. Kalau bicara kedokteran itu bicara nyawa daripada administrasi,” tutur Arindra kepada wartawan Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (24/6).
“Setelah setengah jam, saya menunggu belas kasihan dari pihak rumah sakit itu tetap tidak diindahkan, saya bawa pulang dia. Besoknya saya bawa ke puskesmas Bara-Baraya, di jalan Abubakar Lambogo,” imbuh Arindra.
Baca juga:
- BPJS Kesehatan terancam tekor Rp20 triliun dan gagal bayar klaim, kenaikan iuran jadi ‘keniscayaan’
- ‘Saya kecewa, kok enggak bisa ditolong’ – Pasien DBD ditolak RS karena ‘tidak gawat’ dan tak ditanggung BPJS Kesehatan
- Tindakan nakes ‘bedakan pasien BPJS’ dikecam publik, ‘sangat tidak pantas’ – Pegiat: ‘Itu bentuk kecurangan dan paling banyak terjadi di rumah sakit’
Ketika di puskesmas, Alif diberi bantuan pernafasan berupa oksigen dan diberi obat.
Kondisinya dinilai mulai membaik, Alif diminta pulang. Arindra membawa adiknya ke tempat kosnya. Empat hari kemudian, Alif meninggal dunia di kamar sewa tersebut.
“Betul ada aturan rumah sakit tapi menolong orang itu mesti diutamakan. Kalau bicara kemanusiaan mestinya harus ditolong adikku itu. Waktu itu saya berpikir general ya bahwasanya hampir semua rumah sakit mau menangani orang (sakit) kalau sudah terpenuhi semua administrasi pasiennya,” ucap Arindra.
‘Bukan persoalan yang mudah diselesaikan’
Menanggapi hal ini, Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, menegaskan BPJS Kesehatan tidak pernah membatasi lama hari rawat inap. Durasi perawatan pasien, lanjut dia, ditentukan oleh indikasi medis dan keputusan dokter yang merawat.
“Jadi, bukan oleh BPJS Kesehatan. Pasien sudah bisa dikembalikan ke rumah apabila kondisi pasien sudah stabil sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter,” ujar Rizzky.
Ia mengimbau bagi pasien yang merasa tidak mendapatkan pelayanan yang optimal saat di rumah sakit dapat segera melaporkan melalui kanal pengaduan resmi agar dapat ditindaklanjuti.
Wakil Ketua I Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Koesmedi Priharto, mengakui persoalan yang terjadi secara berulang bukan merupakan problem yang mudah untuk diselesaikan.
“Ini bukan kesengajaan. Bisa karena ada miskomunikasi, bisa memang kondisinya,” ujar Koesmedi.
Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dan observasi secara berkala terkait sumbatan persoalan yang mengakibatkan terjadi peristiwa semacam ini di lapangan.
Sejak penerapan BPJS pada 2014, Koesmedi menjelaskan rumah sakit berupaya untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang termaktub dalam aturan.
Akan tetapi, pembiayaan pelayanan tersebut yang semestinya dikeluarkan BPJS Kesehatan pada rumah sakit kerap terhambat. Di sisi lain, pengadaan alat kesehatan tidak diimbangi dengan penurunan pajaknya.
“Programnya jadi karut marut. Sementara kami harus melayani sesuai dengan kondisi pasien. Pasien yang masuk rumah sakit kan sebenarnya sudah bukan kasus yang mudah-mudah,” ungkap Koesmedi.
Ari, salah seorang dokter di rumah sakit swasta di Yogyakarta, menyampaikan aturan BPJS makin ketat dan berdampak pada klaim yang makin molor pencairannya.
Apalagi bagi rumah sakit swasta, pemasukan tergantung pada jumlah pasien sehingga klaim dari BPJS ini penting untuk keberlangsungan operasional rumah sakit dan pelayanannya.
Bahkan ada rumah sakit, lanjut dia, yang berakhir mengambil pinjaman ke bank agar operasional dan pelayanan berjalan.
Sejumlah bank juga disebutnya menawarkan semacam paket pinjaman untuk rumah sakit yang kesulitan pendanaan karena klaim BPJS belum juga cair.
Peraturan yang berganti-ganti tanpa sosialisasi yang baik juga menimbulkan miskomunikasi di lapangan.
“Ya rumah sakit, ya masyarakat kadang ada enggak sinkron karena aturan dari pusat gonta-ganti tapi kurang sosialisasi,” kata Ari.
Ini sejalan juga dengan pemaparan Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Iing Ichsan Hanafi, saat Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IX DPR RI pada 26 Mei 2025 yang dihadiri Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan sejumlah asosiasi rumah sakit.
Dalam paparannya, Iing menekankan persoalan klaim yang tertunda dan klaim yang bersengketa ini harus segera dituntaskan.
“Ini bukan perkara besar kecil nominalnya. Apalagi bagi rumah sakit soliter, klaim ini penting,” ujar Iing.
Apa penyebab klaim tertunda?
Mengacu pada data BPJS Kesehatan, jumlah klaim tertunda pada 2024 mencapai Rp5,92 triliun untuk 3,69 juta kasus. Angka klaim tertunda ini meningkat drastis dibandingkan pada 2023 yaitu sekitar Rp 2,16 triliun untuk 523.000 kasus.
Bahkan dari data Kementerian Kesehatan, total klaim yang tertunda per Januari-Maret 2025 tercatat Rp204 miliar di 12 rumah sakit yang berada di bawah Kementerian Kesehatan.
Ditelusuri lebih jauh ke belakang, peningkatan ini terus terjadi seiring naiknya jumlah peserta BPJS Kesehatan.
Hingga 31 Maret 2025, jumlah peserta BPJS Kesehatan mencapai 279 juta jiwa atau 98,3% dari total penduduk Indonesia.
Dari temuan DJSN, persoalan utama yang mengakibatkan klaim tertunda dan bersengketa ini karena dokumen klaim tidak cukup jelas menggambarkan bukti pelayanan kesehatan yang diberikan, dokumen tidak lengkap, dugaan kecurangan, serta kendala verifikasi digital dan umpan balik yang kurang jelas dari BPJS Kesehatan kepada pihak rumah sakit.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah, menyampaikan BPJS Kesehatan tidak pernah menolak atau memperlambat pengajuan klaim yang diajukan oleh rumah sakit.
Menurutnya, komitmen BPJS Kesehatan adalah untuk memproses seluruh klaim yang diterima dari rumah sakit sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku agar layanan kesehatan tetap berjalan tanpa hambatan.
Ia menambahkan, efektivitas pembayaran klaim di BPJS Kesehatan harus sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mekanisme audit dan penilaian pun menjadi lebih ketat terhadap tiap klaim yang diajukan.
Bagaimana solusinya?
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menegaskan kembali mengenai persoalan klaim ini agar tidak mengganggu jalannya pelayanan.
“Pending klaim tidak boleh jadi menghalangi hak pasien memperoleh pelayanan,” ucap Timboel.
Ia memahami kehati-hatian rumah sakit dalam menangani pasien sehingga kaku mengacu pada kriteria dan aturan yang ditetapkan.
Namun, dokter dan rumah sakit juga harus mengedepankan sensitivitas manusiawi dan percaya diri pada observasinya, terutama untuk kondisi gawat darurat.
Timboel juga mengusulkan agar regulasi tata laksana penanganan gawat darurat bisa direvisi sehingga tidak terulang kasus penolakan pasien atau pemulangan pasien sebelum sembuh.
“Kalau pun tidak gawat darurat, tidak boleh disuruh pulang. Tapi dikembalikan ke FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) terdekat. Rumah sakit enggak boleh menolak pasien dan jangan disuruh pulang,” kata Timboel.
Kaji ulang skema baru
Terkait dengan rencana perubahan skema pelayanan BPJS Kesehatan dengan penerapan Kamar Rawat Inap Standar, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan masa transisinya diperpanjang hingga Desember 2025 dari yang semestinya Juli 2025.
Keputusan ini diambil karena banyak rumah sakit yang butuh waktu untuk bisa memenuhi 12 kriteria fasilitas yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024.
Sementara itu, Wakil Ketua I Persi, Koesmedi Priharto mengatakan agar penerapan ini bisa dievaluasi lagi dari sejumlah rumah sakit yang telah melakukan uji coba.
Menurut dia, hal ini penting agar tidak menambah masalah baru di lapangan yang makin berdampak pada pelayanan terhadap masyarakat.
Timboel juga mengingatkan agar perubahan skema ini diperhatikan secara detil pelaksanaannya sehingga tidak menimbulkan kebingungan dan praktik ketika di lapangan.
“Ingat yang terutama itu menyelamatkan pasien.”