Perusahaan Adat Pertama di Papua Berdiri: Mandiri dengan Potensi Lokal

Masyarakat adat Namblong di Kabupaten Jayapura, Papua, tengah mengukir sejarah dengan mendirikan perseroan terbatas (PT) sebagai langkah progresif untuk melawan eksploitasi hutan yang kian meluas di tanah mereka. Inisiatif luar biasa ini merupakan upaya strategis untuk menegaskan kembali kedaulatan adat atas tanah dan sumber daya alam yang telah menjadi warisan turun-temurun.
Ancaman deforestasi di Papua sangat nyata. Laporan Koalisi Indonesia Memantau mengungkapkan bahwa rata-rata 33.000 hektare hutan Papua, atau setara setengah luas Jakarta, mengalami deforestasi setiap tahunnya antara periode 2001-2019, sebagian besar akibat aktivitas pertambangan dan perkebunan. Ironi ini memperparah urgensi tindakan kolektif dari masyarakat adat.
Di tengah tekanan deforestasi yang kian mendesak, lahirlah sebuah badan usaha yang diyakini sebagai perseroan terbatas (PT) pertama yang didirikan oleh masyarakat adat di Indonesia. Perusahaan yang diberi nama PT Yombe Namblong Nggua ini mengemban misi mulia: memanfaatkan potensi alam secara berkelanjutan untuk mencapai kemandirian ekonomi, pelestarian lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat Namblong.
Secara resmi berdiri pada 2024, PT ini beroperasi di atas wilayah adat seluas 52.765 hektare—seperempat luas Singapura—yang tersebar di tiga distrik dan 25 kampung. Kepemilikan saham perusahaan dipegang oleh 44 pimpinan marga (Iram) Suku Namblong, yang secara kolektif merepresentasikan lebih dari 50.000 jiwa populasi suku tersebut, memastikan bahwa keputusan dan keuntungan kembali kepada komunitas.
“Masyarakat adat itu harus bisa mandiri dengan aset dan potensi-potensi yang mereka punya,” tegas Yohana Yokbeth Tarkuo, perempuan Papua yang menjabat sebagai Direktur Utama perusahaan, mencerminkan semangat baru komunitasnya.
Pada Maret lalu, BBC News Indonesia berkesempatan mengunjungi kantor sederhana PT Yombe Namblong Nggua di Kampung Bunyom, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura. Di sana, kami berinteraksi dengan para direktur dan pimpinan, menyaksikan dinamika kerja para pegawai, serta meninjau beberapa unit usaha yang sedang dikembangkan.
Dipimpin perempuan generasi penerus Namblong
Wajah Yohana Yokbeth Tarkuo memancarkan kejutan saat melihat enam panggilan tak terjawab di ponselnya. Notifikasi baru muncul beberapa ratus meter setelah ia meninggalkan kawasan wisata Kali Biru di Kampung Berap, tempat sinyal seringkali timbul-tenggelam. Tanpa membuang waktu, Yohana segera meminta rekannya untuk mempercepat laju sepeda motor menuju kantor, menempuh perjalanan 20 kilometer dalam waktu sekitar 30 menit.
Kantor PT Yombe Namblong Nggua, yang terletak di pinggir jalan raya penghubung Sentani dan Sarmi, tampil sederhana namun fungsional dengan tembok berwarna kuning dan hijau. Bangunan seluas sekitar 30 meter persegi ini terdiri dari tiga ruangan, termasuk ruang utama yang menjadi pusat aktivitas.
Setibanya di kantor, Yohana langsung terlibat dalam diskusi sengit dengan seorang pria dan perempuan paruh baya. “Ini debat beli [ukuran] polibag saja satu minggu,” keluhnya, sambil tersenyum geli memegangi kepala. Polibag tersebut sangat krusial untuk pembibitan pohon yang akan ditanam di lahan hutan yang telah gundul di wilayah adat Suku Namblong, menunjukkan betapa setiap detail diperhatikan dalam upaya konservasi mereka.
Sebagai Direktur Utama PT Yombe Namblong Nggua, Yohana membawahi sekitar 20 pegawai. Perempuan Namblong berusia 29 tahun ini menyadari bahwa perusahaan yang dipimpinnya masih “seumur jagung,” sehingga wajar jika masih dalam tahap penyesuaian dan pengembangan sistem manajerial yang mumpuni. Setiap persoalan yang muncul dari lapangan selalu ia catat dan menjadi agenda pembahasan dalam rapat direksi.
Sebelum bergabung dengan PT Yombe Namblong Nggua, Yohana adalah seorang perawat di klinik swasta. Meskipun profesi perawat menawarkan “masa depan yang lebih keren karena ada jalurnya,” ia memilih untuk “belajar” hal baru demi komunitasnya. Dengan bergabung di perusahaan adat ini, ia berharap dapat merangkul generasi muda Suku Namblong untuk mendalami bisnis dan nilai-nilai budaya mereka.
“Dengan adanya saya gabung di sini saya bisa merangkul anak-anak muda itu, lebih bisa tahu nilai-nilai budaya,” ungkapnya. Yohana mengakui bahwa kesempatan bagi perempuan Namblong untuk memimpin sebuah organisasi sangat langka. Penunjukannya sebagai direktur utama PT Yombe Namblong Nggua mengejutkannya. Para pimpinan marga yang memegang saham memutuskan untuk menunjuk perempuan sebagai pemimpin karena pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa laki-laki cenderung gagal dalam memimpin koperasi dan organisasi lainnya.
“Lalu mereka bilang, kebanyakan perempuan jadi pemimpin itu berhasil. Jadi kita coba dulu, salah satunya, tapi anak muda. Jadi coba BUMMA kasih perempuan.” Meskipun dalam adat “perempuan sangat tidak dikasih izin memimpin,” Yohana melihat ini sebagai kesempatan besar. “Saya pikir ini ada kesempatan buat perempuan buat bisa berbicara. Bahwa kami ini setara,” katanya penuh harap.
Namun, di lapangan, Yohana terkadang masih harus berkompromi. “Ketika kami turun di lapangan, di masyarakat, itu tidak diperbolehkan [perempuan] berbicara dulu. Jadi dibuka dulu saya punya sekretaris, jadi Bapak Yusuf yang buka, jadi saya diperbolehkan [kemudian],” jelasnya, menggambarkan tantangan dalam komunikasi yang masih dihadapi di tengah tradisi.
Dorongan kuat untuk memimpin perusahaan datang dari amanat para “orang tua” atau sesepuh masyarakat. Sebagai “penerus anak Namblong,” Yohana memiliki keyakinan teguh bahwa perusahaan ini akan tumbuh besar di kemudian hari. Ia juga mengeklaim bahwa program pembangunan dan masuknya perusahaan-perusahaan ke Papua seringkali tidak membawa kesejahteraan signifikan bagi orang asli Papua. “Jadi, kami memutuskan bahwa harus ada salah satu badan usaha untuk masyarakat adat itu sendiri,” tegasnya.
Yohana kembali larut dalam pekerjaannya di kantor. Suara samar-samar diskusinya dengan staf lain terdengar, membahas laporan hasil budidaya vanila dan prosedur penjualannya. PT Yombe Namblong Nggua telah menetapkan enam unit usaha yang memanfaatkan potensi ekonomi di wilayah adat Suku Namblong: kehutanan, ekowisata, pengelolaan vanila, pertanian, peternakan, dan perikanan.
“Yang sudah aktif berjalan itu adalah vanili, lalu ekowisata,” kata Yusuf Kasmando, Direktur Operasional Umum dan salah satu pendiri PT Yombe Namblong Nggua. Yusuf mengajak kami ke rumah pengeringan vanila, sekitar satu kilometer dari kantor, sambil kembali menceritakan latar belakang pembentukan perusahaan ini.
“Kami prihatin hutan kami habis untuk mereka yang membuka lahan sawit dan lain sebagainya, seperti pengambilan kayu dan lain lain. Karena itu timbul keinginan kami bisa melindungi hutan kami yang tinggal sisa ini,” jelasnya. Gagasan untuk memiliki perusahaan sendiri berawal dari obrolan informal di Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 2022 di Kabupaten Jayapura, yang dihadiri 5.000 perwakilan masyarakat adat se-Indonesia.
Dari pertemuan ini, lebih dari 40 kepala adat marga bersepakat untuk membentuk badan usaha guna melindungi wilayah adat Namblong. Dalam perjalanannya, mereka membentuk tim, berdiskusi, mendata potensi ekonomi, dan menyusun badan kepengurusan selama dua tahun. “Setelah itu kami masih menyusun program-program. Jadi hampir setahun penuh itu kami betul-betul mematangkan rencana-rencana itu,” kata Yusuf.
Badan usaha masyarakat adat ini resmi tercatat sebagai Perseroan Terbatas pada September 2024. Sejak tahun ini, perusahaan mulai menjalankan program pengembangan ekonomi berbasis adat. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perdana pada Oktober silam, kepemilikan saham dibagi kepada 44 marga, dengan masing-masing pimpinan marga menyetor modal sebesar Rp100 juta, dicicil Rp20 juta per tahun mulai tahun ini.
Rumah pengering vanili
Kendaraan berhenti di tepi jalan, menyingkap sebuah plang bertuliskan: “Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) Suku Namblong”. Di belakangnya, barisan pohon palem-paleman mengarah ke bangunan kayu berlapis paranet, yang dikenal sebagai “rumah pengeringan vanili”. Unit usaha ini berfungsi membeli hasil vanili dari masyarakat, mengeringkannya, dan mengolahnya menjadi bahan setengah jadi sebelum dipasarkan ke pabrik-pabrik.
“Kami, BUMMA beli per kilo Rp150 ribu,” kata Yusuf. Dalam sepekan, rumah pengering vanili ini diklaim mampu membeli hingga 40kg vanili dari petani lokal. Kehadiran unit usaha ini sangat signifikan, karena sebelumnya petani sering menjual ke perusahaan lain dengan harga yang tidak stabil. “Ada perusahaan lain awalnya dia beli Rp500.000 (per kg) lalu harganya jatuh sampai ke Rp80.000. Makanya, banyak petani yang kecewa dengan harga yang tidak stabil itu,” tambah Yusuf, menyoroti pentingnya keberadaan BUMMA dalam menstabilkan harga bagi petani.
Di rumah pengeringan vanili, kami ditemani Benyamin Bay, koordinator budidaya vanili. Ia mengklaim bahwa pohon vanili yang ditanam di Papua memiliki kualitas lebih baik dan aroma lebih pekat dibandingkan daerah lain. “Ini lebih bagus,” kata Benyamin tersenyum, sambil menunjukkan vanili yang sudah dikeringkan dalam plastik.
Selain menjadi pusat pembelian hasil panen, rumah pengering vanili BUMMA juga berfungsi sebagai pusat edukasi. Selama ini, banyak petani Papua yang belum sepenuhnya memahami cara budidaya vanili yang optimal. Masyarakat umumnya membiarkan pohon vanili tumbuh tinggi menjalar, padahal pohon ini bisa dikelola agar tetap menghasilkan bunga pada ketinggian yang mudah dijangkau orang dewasa. “Kalau [petani] naik lagi, kadang-kadang bisa celaka juga, jatuh. Jadi, di sini diajari supaya pohonnya tetap pendek tapi tetap berbunga banyak,” kata Benyamin, yang bahkan mengeklaim sudah ada tawaran pembelian dari Amerika Serikat.
Susur sungai Kali Biru
Unit usaha lain yang telah beroperasi adalah jelajah wisata Kali Biru. Lokasinya berada di dalam kawasan hutan lindung di Kampung Berap, sekitar 30 menit perjalanan mobil dari rumah pengering vanili. Kawasan ini menjadi tempat di mana cerita Yohana mendapatkan panggilan tak terjawab dari stafnya bermula. Kini, Kak Ana, demikian kami menyapanya, turut menemani, menjelaskan layanan di kawasan wisata Kali Biru yang dikelola PT Yombe Namblong Nggua.
Untuk mencapai kawasan wisata Kali Biru, kami harus berjalan kaki sekitar 100 meter dari tepi jalan, melepas sepatu karena lumpur yang dalam. Sebuah pondok kayu sederhana di seberang kali menyambut wisatawan. Pengelola membangun jembatan darurat dari batang kayu dengan pegangan bambu untuk menyeberangi Kali Biru.
Lingkungan di sana masih sangat alami. Pepohonan menjulang tinggi dan rimbun, dihiasi kupu-kupu yang beterbangan dan kicauan burung. Sungai di lokasi tersebut benar-benar tampak biru jernih, memantulkan warna langit di siang hari. Dua anak kecil berkejar-kejaran kegirangan, berakhir dengan lompatan ke dalam sungai, menambah semarak suasana.
Selain sebagai kawasan wisata, Kali Biru juga merupakan lokasi warga setempat mencari ikan. “Ikan gurami, ikan bolana, ikan gabus, sama ikan rainbow fish. Itu paling banyak sudah di sini… Ini ikan kakap air tawar itu [panjangnya bisa] sampai 3,5 meter,” jelas koordinator lapangan unit usaha ekowisata, Simon Manggo.
Simon menjelaskan bahwa di pondok wisata Kali Biru tersedia fasilitas pendukung seperti kedai kopi, spot foto, listrik, air bersih, toilet, kamar ganti, dan lahan kemping. Makanan yang disajikan untuk wisatawan juga unik dan khas, seperti papeda dengan ikan kuah kuning, dan penganan lain dari olahan sagu, yang bahan-bahannya langsung diambil dari kebun dan ikannya dari sungai, menjamin kesegaran dan keaslian cita rasa lokal.
Yohana menambahkan, prinsip utama ekowisata Kali Biru adalah mempromosikan kekayaan alam Papua kepada wisatawan. Kedua, dengan dijadikannya kawasan wisata, secara tidak langsung mendorong warga untuk menjaga kebersihan dan keasriannya. “Bantu mereka [warga] mengembangkan potensi (alam), untuk menjaga sungainya. Biar tetap sama seperti dulu. Jadi, kami mencoba membangun sama masyarakat di sini,” katanya.
Yohana mengamati bahwa jumlah wisatawan yang datang ke Kali Biru setiap pekan terus bertambah, terutama setelah PT Yombe Namblong Nggua menawarkan paket perjalanan susur sungai. “Ada beberapa paket [wisata]. Dan ketika river trip itu ada beberapa cerita legenda yang akan diceritakan sama yang mengemudi rakit,” ungkapnya. Paket jelajah Kali Biru ini menawarkan pengalaman unik, di mana 5-6 wisatawan naik perahu rakit sepanjang 1,5 kilometer. Selama perjalanan, pemandu wisata akan menuturkan cerita-cerita rakyat tentang Kali Biru di tengah nyanyian burung-burung langka di tepian sungai, dilengkapi dengan ragam buah-buahan lokal.
Potensi unit usaha ekowisata lain yang sedang dikembangkan PT Yombe Namblong Nggua adalah jelajah hutan untuk pemantauan burung cenderawasih kuning, meskipun pihak pengelola masih dalam proses menentukan titik pantau dan jalurnya. Selain itu, perusahaan juga berupaya mengembangkan unit usaha perdagangan karbon, di mana PT Yombe Namblong Nggua sedang mengupayakan rehabilitasi hutan mereka yang rusak.
Rehabilitasi hutan gundul
Bernard Yewi, 52 tahun, menunjukkan deretan polibag berisi bibit pohon alami hutan Namblong yang siap tanam di sebuah persemaian. “[Pohon] Marbau, linggua, matoa, itu untuk hutan asli… Tanam sembarang saja yang penting dia kembali jadi hutan,” kata manajer kehutanan PT Yombe Namblong Nggua. Bernard menyoroti bahwa sebagian tanah adatnya bersengketa dengan sebuah perusahaan sawit, dan ia mengeklaim lusinan hektare hutan telah ditebangi. Hutan di wilayah Suku Namblong juga banyak yang hilang karena pembalakan liar.
“Ketika datangnya pengaruh adanya orang chainsaw (gergaji mesin) kayu untuk dijual, itu sudah terjadi penebangan secara besar-besaran,” kata Bernard. “Makanya dengan adanya BUMMA Namblong ini, para tokoh adat, para iram itu memandatkan kita untuk hutan itu dijaga kembali, dilestarikan kembali.” Selain merehabilitasi hutan yang rusak, PT Yombe Namblong Nggua juga menyiapkan hutan produksi yang dapat memberikan manfaat bagi perusahaan dan masyarakat, dengan merencanakan penanaman pohon jati, mahoni, serta pohon buah-buahan seperti durian, duku, rambutan, dan pete.
BUMMA berbentuk PT pertama di Indonesia
Meskipun memiliki visi besar, PT Yombe Namblong Nggua saat ini belum sepenuhnya dijalankan secara mandiri oleh masyarakat adat Namblong. Mereka masih mendapatkan pendampingan intensif dari Mitra BUMMA, yang beroperasi di bawah Yayasan Menoken Indonesia Sejahtera Bumi. Abdon Nababan, pendiri Mitra BUMMA, menjelaskan bahwa tidak semua pengurus perusahaan ini memiliki latar belakang bisnis atau keorganisasian yang memadai. “[Kami] mendampingi dalam proses membangun keorganisasiannya, kelembagaan ekonominya berupa PT, maupun meningkatkan kapasitas orang-orang yang dipilih oleh adat,” jelas Abdon, memastikan mereka memiliki kapasitas minimum untuk menjalankan roda perusahaan.
Pendampingan tersebut diwujudkan melalui penempatan tenaga profesional di bagian administrasi dan di unit-unit usaha seperti ekowisata, budidaya ternak, atau kebun. Selain itu, Mitra BUMMA juga bertindak sebagai “Mitra Investasi” dalam usaha-usaha yang ditentukan sendiri oleh Suku Namblong. “Karena sumber daya mereka juga besar, dan ini kan karena pendekatannya satu suku, artinya wilayah adat mereka saja 53.000 hektare.” Ia menambahkan, “Jadi, dari sisi permodalan kalau hanya disediakan oleh 44 marga ini agak berat.” Proses pendampingan ini akan berlangsung beberapa tahun ke depan hingga Suku Namblong dianggap mampu mengoperasikan perusahaan secara mandiri.
Mantan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini meyakini bahwa PT Yombe Namblong Nggua adalah badan usaha milik masyarakat adat pertama di Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas. “(BUMMA) yang umum sih koperasi, atau kelompok usaha, jadi belum ada legalitasnya… Kalau yang [berstatus] PT kayaknya belum ada, baru ini yang PT,” kata Abdon. Ia juga menjabarkan keunikan BUMMA berbentuk PT ini:
- Harta atau aset perusahaan berupa tanah adat yang dimiliki dan dikelola suku.
- Kepemilikan saham dibagi pada 44 marga.
- Proses pengambilan keputusan perusahaan berdasarkan ketentuan adat.
- Perusahaan beroperasi berlandaskan sistem adat.
- Perusahaan menjalankan unit-unit usaha berkelanjutan dan memelihara alam di tanah adat.
Langkah revolusioner yang diambil komunitas adat ini bertujuan mengubah paradigma pembangunan ekonomi yang selama ini meminggirkan mereka, kata Abdon. Melalui pendirian perusahaan yang dikelola sendiri, komunitas adat dapat merebut kembali kendali atas kekayaan alam mereka yang selama ini dieksploitasi pihak luar. “Selama ini kan program-program ekonomi menempatkan masyarakat adat ini kan bukan [sebagai] pelaku,” ungkapnya.
Dalam praktik yang sering terjadi, masyarakat adat hanya diposisikan sebagai penerima manfaat kecil dari program-program ekonomi, seperti CSR atau bantuan sosial. Sementara itu, kekayaan wilayah adat mereka dieksploitasi dalam bentuk konsesi kepada pengusaha luar. “Mereka seperti tikus mati di lumbung padi,” ujarnya, menggambarkan ironi masyarakat yang hidup di tengah kekayaan namun tetap miskin secara struktural.
Dalam beberapa tahun pendampingan Mitra BUMMA ke depan, PT Yombe Namblong Nggua diharapkan menjadi model ekonomi baru yang berkelanjutan dan berbasis kearifan lokal. Model ini tidak hanya membangun sistem produksi yang mampu menembus pasar, tetapi juga memperkuat posisi masyarakat adat dalam pengelolaan kekayaan alam mereka sendiri. “Alam dan budaya di masyarakat adat itu satu paket yang tidak terpisahkan,” kata Abdon. Dalam jangka panjang, model ini diharapkan dapat direplikasi oleh ratusan suku di Papua, yang berpotensi mengubah wajah ekonomi Papua secara fundamental.
“Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keberlanjutan hutan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang sebagian besar masih tersisa di Papua,” tambahnya. Kembali ke kantor PT Yombe Namblong Nggua, Direktur Operasional Umum, Yusuf Kasmando, mengungkapkan harapannya. Sebagai salah satu generasi tertua Suku Namblong, ia berharap perusahaan ini dapat melindungi hutannya yang masih tersisa, sekaligus menginspirasi masyarakat adat di luar Papua. “Papua itu hidup kami menyatu dengan hutan. Kalau tidak ada hutan, ya kami mau jadi apa?” katanya penuh makna. “Kami mencari, mengambil segala sesuatu dari hutan… Kami berharap mungkin setelah kami bisa sukses, di Papua juga, di luar Papua, model seperti ini bisa dikembangkan.”
Wartawan M. Ikbal Asra di Papua berkontribusi dalam reportase ini.
Baca juga:
- Warga asli Papua pesimistis pilkada bisa cegah potensi buruk food estate di Merauke – ‘Percuma kami mengadu ke calon kepala daerah’
- Pemerintah klaim kemiskinan ekstrem akan 0% akhir 2024, tapi di Papua bertahan hidup ‘harus setengah mati‘
- Cerita bidan Mama Sina berjibaku sendirian melayani kesehatan di pedalaman Asmat Papua – ‘Kami butuh puskesmas di kampung ini’
- Mengapa gizi buruk masih menghantui Asmat? – Cerita dari kampung terpencil di pedalaman Papua Selatan
Baca juga:
- Demianus si ‘manusia pembalut’ dari Papua – ‘Saya tidak rasa minder atau tabu’
- ‘Bom-bom itu dijadikan lonceng di balai kampung dan gereja’ – Orang asli Papua di Agimuga dan trauma tentang Peristiwa 1977
- Kisah orang asli Papua tolak blok minyak terbesar di Indonesia – Tak mau ‘tragedi bom’ 1977 terulang
Baca juga:
- Kisah ‘keberhasilan’ masyarakat adat Knasaimos di Papua, apa konsekuensinya dan bisakah ditiru masyarakat adat lain?
- All Eyes on Papua – ‘Mengapa baru sekarang ramai-ramai bicarakan persoalan di Papua’?
- Pala Papua, si ‘anak tiri’ rempah Indonesia – ‘Setelah keluar dari pelabuhan, kehilangan identitasnya’
Baca juga:
- Bobon Santoso dan persoalan pangan orang asli Papua, mengapa harus membicarakannya secara struktural?
- ‘Satu tungku tiga batu’ – Warisan leluhur Fakfak di Papua yang ‘melampaui toleransi’ tetapi dikritik kalangan muda
- Nestapa pengungsi Nduga: Bertahun-tahun ‘diusir’ dari rumah dan kini hak suara mereka di Pemilu 2024 ‘direnggut paksa’
Baca juga:
- ‘Sekolah adat‘ Papua untuk seniman muda – Cegah kearifan lokal hilang, pertahankan ‘satu-satunya medium bersuara’
- Konflik Papua: Pengungsi Maybrat hidup dalam ketakutan – ‘Rindu pulang tapi cemas dimata-matai’
- Tujuh suku pelindung gunung dan laut di Pegunungan Cycloop Papua
Baca juga:
- Spesies mamalia yang hilang selama 62 tahun ditemukan kembali di hutan Papua
- Mengaburkan makna ‘bencana kelaparan’ di Papua, peneliti sebut ‘upaya pemerintah menyelamatkan muka’
- Tuduhan ‘makar’ dan penangkapan aktivis KNPB disebut ‘menambah daftar pelanggaran hak politik di Papua‘, polisi klaim kantongi alat bukti
- Demianus si ‘manusia pembalut’ dari Papua – ‘Saya tidak rasa minder atau tabu’
- Pendulang emas berulang kali tewas di tengah konflik bersenjata Papua, siapa mereka dan mengapa ada di tengah hutan?
- ‘Mereka adu domba kami’ – Masyarakat adat Solidaritas Merauke deklarasi menolak Proyek Strategis Nasional