Perang Iran-Israel: Definisi dan Aturan Gencatan Senjata

Beritasob.com – , Jakarta – Gencatan senjata antara Iran dan Israel yang diumumkan pada 24 Juni 2025 menjadi titik balik konflik panas yang sempat mengguncang Timur Tengah. Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan konflik kedua negara telah berakhir dan tidak mungkin dimulai lagi.
“Karena kedua negara lelah dan kehabisan tenaga,” kata Trump usai menghadiri KTT NATO di Den Haag pada Rabu, 25 Juni 2025.
Dalam konferensi persnya, Trump mengatakan, kedua belah pihak telah bertempur dengan sangat brutal dan kini memilih untuk mundur. Ia bahkan mengklaim secara langsung meminta Israel menarik kembali 52 pesawat tempur yang sempat dikerahkan setelah Iran dianggap melanggar gencatan senjata.
Ketegangan antara dua negara itu memuncak setelah Israel menggempur Iran pada 13 Juni dengan dalih menghentikan program nuklir rahasia yang dibalas Iran dengan Operasi True Promise 3. Amerika Serikat kemudian ikut campur dengan menghantam tiga fasilitas nuklir utama Iran. Serangan balasan pun terjadi ketika Iran menyerang Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar pada 23 Juni.
Apa Itu Gencatan Senjata?
Istilah gencatan senjata (ceasefire) sering muncul di tengah konflik bersenjata. Meski kerap disamakan dengan istilah seperti gencatan permusuhan, truce, atau armistice, gencatan senjata memiliki makna dan implikasi khusus dalam hukum internasional.
Dilansir dari laman Oxford Public International Law, gencatan senjata adalah penghentian aksi kekerasan oleh pasukan militer atau paramiliter, biasanya melibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Tujuannya bukan sekadar menghentikan tembak-menembak melainkan membuka jalan menuju penyelesaian konflik yang lebih permanen.
Gencatan senjata bisa bersifat sepihak di mana satu pihak menghentikan serangan tanpa kesepakatan dari pihak lain atau disepakati bersama, baik secara tertulis maupun lisan. Gencatan senjata juga bisa bersifat lokal (terbatas pada wilayah tertentu) atau menyeluruh, permanen atau sementara dengan durasi tertentu.
Dikutip dari laman Beyond Intractability, gencatan senjata ini berbeda dengan perjanjian damai. Gencatan senjata tidak menyelesaikan akar masalah melainkan memberikan ruang untuk negosiasi dengan mengurangi ketakutan dan permusuhan yang dipicu oleh pertempuran. Kekerasan yang berkelanjutan sering mendorong pihak untuk menghancurkan lawan tetapi gencatan senjata mengalihkan fokus ke dialog. Namun, tanpa komitmen politik yang kuat dan kepemimpinan yang jelas, gencatan senjata rentan gagal dalam hitungan jam.
Gencatan senjata juga rentan dimanipulasi. Salah satu pihak bisa memanfaatkannya untuk mempersiapkan kembali kekuatan militer atau memposisikan pasukan secara strategis. Provokasi, seperti tindakan yang bertentangan dengan semangat gencatan senjata, bisa sengaja dilakukan untuk melemahkan lawan atau memicu pelanggaran yang mendatangkan kecaman internasional. Keberhasilan gencatan senjata membutuhkan kepercayaan minimal antarpihak, yang sering kali sulit dicapai karena trauma dan kecurigaan akibat konflik berkepanjangan.
Aturan Gencatan Senjata
Menurut laman Chatham House, hukum humaniter internasional tak menetapkan ketentuan khusus mengenai kapan gencatan senjata harus dirundingkan, apa saja isi kesepakatannya, maupun mekanisme pelaksanaannya. Semua itu bergantung pada kesepakatan para pihak yang berkonflik, tanpa kerangka baku yang diatur dalam hukum.
Masih dinukil dari laman Oxford Public International Law, menurut pakar hukum internasional, gencatan senjata biasanya mencakup poin-poin seperti waktu mulai berlaku, larangan aksi tertentu (misalnya, penembakan atau propaganda permusuhan), pemisahan pasukan dengan garis demarkasi atau zona penyangga, mekanisme pengawasan, pemulangan tawanan perang, hingga kompensasi atau penanganan kejahatan perang. Dalam konflik non-internasional, seperti pemberontakan, gencatan senjata sering menjadi langkah awal menuju negosiasi damai.
Pentingnya Gencatan Senjata
Gencatan senjata menciptakan momentum untuk perdamaian. Ketika pertempuran dihentikan, harapan warga sipil akan resolusi damai meningkat, menambah tekanan politik pada pihak yang bertikai untuk menjaga kesepakatan. Gencatan senjata juga mengubah dinamika politik dalam negeri, mendorong koalisi baru yang mendukung perdamaian. Pihak ketiga, seperti pasukan penjaga perdamaian PBB, sering memainkan peran kunci dengan memantau kesepakatan dan menciptakan zona penyangga untuk mengurangi ketegangan.
Meski penting, gencatan senjata memiliki risiko. Beberapa pihak justru menginginkan kelanjutan kekerasan untuk mempertahankan eksistensi mereka. Kelompok garis keras mungkin menolak kompromi dan berupaya menghancurkan lawan sepenuhnya. Gencatan senjata juga bisa “membekukan” ketimpangan kekuasaan atau sumber daya, yang kadang dianggap menguntungkan satu pihak. Selain itu, jeda dalam pertempuran bisa dimanfaatkan untuk mempersiapkan konflik yang lebih besar di masa depan.
Namun, dengan dukungan pihak ketiga, seperti PBB atau negara mediator, gencatan senjata dapat diperkuat. Pihak ketiga bisa menawarkan insentif atau sanksi untuk memastikan kepatuhan, sekaligus meredakan ketakutan pihak yang bertikai. Keberhasilan gencatan senjata bergantung pada kemampuan semua pihak untuk membangun kepercayaan dan menahan kelompok radikal agar tidak menggagalkan proses damai.
Pilihan Editor: Jejak Karbon Gawai Kita