Nasib pulau kecil: Setelah ditambang, kini diperjualbelikan – ‘Kami dibiarkan bertahan sendirian’

Nasib memprihatinkan pulau-pulau kecil di Indonesia kini semakin terekspos. Setelah didera ancaman penambangan nikel yang merusak, kini mereka dihadapkan pada persoalan baru yang tak kalah genting: penjualan kepada para konglomerat.
Fenomena ini terungkap setelah sejumlah pulau kecil di Indonesia secara terang-terangan terpampang di situs jual beli yang dioperasikan oleh sebuah perusahaan berbasis di Kanada. Pulau-pulau ini secara eksplisit diberi status for sale, menarik perhatian publik dan pemerintah.
Situs yang menjadi perantara penjualan pulau-pulau tersebut adalah Private Islands Inc. Per Senin (23/6) siang, beberapa pulau kecil yang dijual melalui Private Islands Inc. antara lain sepasang pulau di gugusan Anambas (Kepulauan Riau), Pulau Panjang (Nusa Tenggara Barat), serta Pulau Seliu (Bangka Belitung).
Namun, dalam pantauan BBC News Indonesia per Selasa (24/6), nama pulau-pulau di Anambas dan Pulau Panjang belakangan sudah dicabut dari laman Private Islands Inc., menyisakan pertanyaan tentang status transaksinya.
Selain pulau, situs ini juga menawarkan lahan di Pulau Sumba (Nusa Tenggara Timur), yang masing-masing diperuntukkan bagi properti dan selancar. Yang terakhir bahkan telah berstatus off the market—mengindikasikan sudah terjual atau tidak lagi ditawarkan.
Menanggapi hal ini, pemerintah Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada konsep kepemilikan pribadi atas pulau-pulau kecil di Indonesia. Regulasi yang ada tidak membenarkan praktik semacam itu.
Bupati Anambas, Abdul Haris, membantah keras keterlibatan pemerintah daerah dalam urusan jual beli pulau tersebut, menyebutnya sebagai informasi yang “tidak benar dan tidak mungkin dilakukan.”
Senada dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara lugas menegaskan bahwa pulau-pulau di Indonesia tidak dapat diperjualbelikan karena ketiadaan dasar hukum yang memungkinkan. “Kami tegaskan bahwa tidak ada satu pun regulasi di Indonesia yang membolehkan penjualan pulau kecil,” ungkap Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP, Koswara, pada Minggu (22/6).
“Yang diperbolehkan adalah terkait pemanfaatannya untuk kegiatan tertentu, hak atas tanahnya, serta investasinya. Itu pun dengan syarat-syarat ketat,” tambahnya, menekankan bahwa pemanfaatan pun harus mengikuti aturan yang rigid.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menyatakan akan mempelajari kasus ini lebih lanjut, namun menegaskan prinsip bahwa “tidak ada pulau yang bisa dimiliki secara pribadi atau secara keseluruhan.” Ia menambahkan, “Dan pada intinya kami akan menginventarisir [mencatat] hal-hal atau wilayah-wilayah yang memang harus tetap kita jaga. Baik dari sisi regulasinya dan juga kepemilikannya.”
Kabar mengenai penjualan pulau-pulau ini sangat menyentuh hati warga setempat. Salah seorang warga di pulau kecil yang dihubungi BBC News Indonesia mengungkapkan perasaan “sangat menyedihkan” mendengar berita ini.
Isu jual beli pulau-pulau kecil di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Masalah ini pernah mencuat ke permukaan beberapa tahun silam, namun tak kunjung terselesaikan. Menurut peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB), salah satu akar masalahnya adalah cara pandang pemerintah yang cenderung meletakkan pulau-pulau kecil dalam kategori “aset” semata.
‘Ruang gerak kami makin sempit’
Bambang Zakaria, seorang warga Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, merasa sangat terkejut dan cemas mendengar kabar beberapa pulau kecil di Sumatra dan Nusa Tenggara masuk ke dalam situs jual beli pulau yang terafiliasi dengan konglomerat luar negeri.
“Kami, sebagai warga pulau kecil, merasa sangat terancam. Apalagi kemarin ramai isu tambang, sekarang giliran jual beli pulau,” kata lelaki kelahiran 1968 tersebut. Ia khawatir jika dibiarkan, masyarakat lokal akan terusir dari tanah leluhur mereka. “Kalau dibiarkan, kami, lama-lama, pasti terusir dari pulau yang kami tinggali. Peradaban kami juga berpeluang lenyap akibat pembangunan,” tambahnya dengan nada getir.
Bambang telah menyaksikan dan, mirisnya, mengalami sendiri bagaimana geliat pembangunan secara bertahap telah memojokkan masyarakat di pulau-pulau kecil. Dahulu, para pendahulu Bambang di Kepulauan Karimunjawa mengolah lahan dengan menanam kelapa. Ketika harga kelapa anjlok pada dekade 1980-an, mereka terpaksa beralih profesi menjadi nelayan.
Lahan-lahan kelapa yang terbengkalai kemudian menjadi sasaran pembangunan. Pemerintah dan pengusaha, menurut Bambang, bekerja sama untuk mengamankan kepentingan investasi mereka, memaksa warga menyerahkan tanahnya. Kini, kawasan Karimunjawa telah berubah drastis. Bambang memperkirakan, terutama di wilayah pantai, “hanya tinggal 20% yang dihuni orang lokal.”
“Sisanya milik pengusaha, pebisnis, yang membeli tanah di sini dan membangun vila atau resor,” tuturnya. Perubahan ini tidak melibatkan warga lokal secara substantif. Bambang menceritakan, warga hanya dilibatkan sebagai pekerja informal dengan upah yang pas-pasan. Keputusan mengenai arah pengembangan sektor pariwisata di Karimunjawa sepenuhnya berada di tangan para pemodal dan pemerintah.
“Sementara ruang gerak kami semakin terbatas. Di laut, kami tidak bisa leluasa menangkap ikan karena pembangunan ada di mana-mana, begitu pula di darat,” aku Bambang yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan. Ia menghela napas sejenak, “Kami dibiarkan bertahan sendirian.”
Berjarak sekitar 428 km ke arah barat, nasib serupa dialami Asmania, warga Pulau Pari, yang secara administratif masuk wilayah DKI Jakarta. Gelombang pembangunan di Pulau Pari hampir tak terhentikan, ditandai dengan pendirian berbagai vila dan resor demi menunjang pariwisata. Ironisnya, beberapa di antaranya terindikasi mengeruk lautan dan menimbunnya, bahkan ada yang membangun tanpa izin sebelum akhirnya dicabut pemerintah.
Dampaknya, Asmania menuturkan, “ekosistem rusak, seperti rumput laut atau kawasan mangrove.” Pembangunan di area pulau-pulau kecil ini disebut Asmania “tidak berpihak kepada masyarakat.” Ia menambahkan bahwa praktik semacam ini seolah tidak mampu dihentikan, dengan “perusahaan-perusahaan yang bebas mencaplok dan memiliki pulau-pulau kecil di mana saja.”
“Tidak ada yang sejahtera dengan kehadiran korporasi,” tegasnya. Warga di pulau-pulau kecil seperti Asmania dan Bambang sangat berharap pemerintah tidak menutup mata atas kenyataan pahit yang mereka jalani. Mereka mendambakan pembangunan yang sejatinya mendekatkan, bukan menjauhkan, pemenuhan hak hidup yang manusiawi.
Realita di pulau-pulau kecil Indonesia memang kerap kali berujung pada kecemasan. Setelah didera penambangan, kini pulau-pulau kecil diperjualbelikan. Keduanya sama-sama tidak menguntungkan, terutama bagi mereka yang telah mendiami dan merawat pulau-pulau itu selama beberapa generasi.
“Rasanya sangat sedih jika mendengar kabar kalau pulau kecil mau ditambang, pulau kecil mau dijual,” tutur Asmania. Ia menutup dengan pertanyaan reflektif, “Apakah pulau kecil dan kami ini, yang tinggal maupun merawat, sama sekali tidak dianggap?”
‘Apa yang lebih baik dari pulau yang masih asli?’
Pada situs jual beli yang dikelola Private Islands Inc., dua pulau kecil di Anambas dipromosikan dengan iming-iming sebagai “pulau tropis yang indah” dan “masih asli.” Private Islands Inc. mengklaim lokasinya “fantastis” karena hanya “200 mil dari Singapura,” sehingga “cocok untuk sebuah resor ramah lingkungan yang indah.”
Promosi untuk dua pulau di Anambas ini juga menyertakan keterangan bahwa belum ada pembangunan di sana dan luas lahannya mencapai 159 hektare. Mengenai harga, situs ini tidak mencantumkan nilai spesifik, melainkan upon request—berdasarkan permintaan calon pembeli.
Hal serupa ditemukan pada penjualan Pulau Panjang, di mana harga juga tertulis upon request. Luas Pulau Panjang yang ditawarkan Private Islands Inc. mencakup 33 hektare. Materi promosi untuk Pulau Panjang dikemas cukup singkat: “Pulau ini, sekarang, belum dikembangkan dan masih alami,” tulis Private Islands Inc. “Bandara internasional terdekat hanya berjarak dua jam perjalanan, satu jam menggunakan mobil, dan satu jam memakai kapal.”
Dari semua pulau-pulau kecil di Indonesia yang ditawarkan, hanya Pulau Seliu yang harganya dapat diketahui publik. Private Islands Inc. mematok harga lebih dari Rp2 miliar bagi mereka yang berminat membeli pulau ini. Pulau Seliu, menurut deskripsi Private Islands Inc., “menawarkan tempat peristirahatan yang tenang di tengah-tengah keindahan alam yang menakjubkan serta peluang pengembangan yang strategis.”
Private Islands Inc. bahkan mengklaim Pulau Seliu “diberkati dengan lingkungan yang masih asli dan terlindung dari bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi.” Lebih lanjut, mereka menyatakan, “Pulau Seliu menyajikan prospek yang menarik bagi mereka yang mencari gaya hidup yang harmonis dan selaras bersama alam.”
Sosok di balik Private Islands Inc. adalah Chris Kowlow, seorang pengusaha asal Toronto, Kanada. Ketertarikannya pada pulau-pulau sudah muncul sejak usia belasan, tepatnya saat ia menjadi pemandu wisata di Kanada. Kala itu, turis Eropa rela merogoh uang hingga US$5.000 untuk berlibur ke pulau-pulau di Kanada, sementara penyedia jasa hanya membayar tak lebih dari US$100 untuk menyewa pulau.
Chris melihat peluang besar untuk meraup keuntungan. Setelah tidak lagi bekerja di kantor jasa wisata, ia memutuskan membangun usahanya sendiri. Idenya berawal dari ketertarikan orang-orang, terutama dari kelompok ekonomi atas, untuk menikmati keindahan pulau secara privat. Chris kemudian mendata pulau-pulau kecil yang berpotensi, memasukkannya ke internet, dan menjualnya. Dua dekade kemudian, Chris menjadi pemain menonjol di industri perdagangan pulau.
Situs yang ia dirikan, Private Islands Inc., ramai dikunjungi para pelancong berduit. Di situs tersebut terdapat 657 pulau yang dijual serta lebih dari 750 lainnya disewakan. Tidak hanya melalui website, Chris juga menciptakan reality show berjudul Island Hunters, yang bertahan selama empat musim penayangan.
Berperan sebagai pemandu acara, Chris berbincang dengan calon pembeli pulau di berbagai lokasi di seluruh dunia. Episode Island Hunters selalu berakhir dengan kesepakatan antara Chris dan calon pembeli. Chris menganggap kemunculan internet berkontribusi signifikan dalam perkembangan bisnisnya, karena biaya operasional dapat ditekan dan jangkauan ke calon pembeli atau audiens meluas.
Setiap minggu, “saya berbicara dengan setengah lusin pemilik pulau yang berbeda,” Chris bercerita. “Saya menemukan pulau-pulau yang kemungkinan belum terdaftar [secara resmi],” tambahnya. Bagi Chris, menemukan pulau tidak pernah menjadi masalah; “mendapatkan pembeli adalah tantangannya,” seperti yang pernah ia tulis dalam sebuah opini.
Pembeli pulau, menurut Chris, adalah orang-orang dengan kekayaan berlebih. Mereka cenderung tidak tertarik pada “pulau yang sudah siap pakai,” melainkan yang masih belum terjamah apa pun, atau pulau ‘asli.’ Pulau yang sudah berisi bangunan atau fasilitas penunjang wisata justru dianggap “paling sulit dijual.”
“Pulau sering kali menjadi rumah kedua atau ketiga bagi para pengusaha ini. Saya memiliki beberapa klien yang sangat kaya. Beberapa selebriti juga membeli pulau. Tapi, umumnya mereka cenderung menyewa,” jelas Chris. Transaksi jual beli pulau dilakukan dengan nominal yang tidak sedikit, biasanya di rentang US$50 juta hingga US$200 juta. Penjualan terbesar yang pernah direalisasikan Chris menyentuh angka US$130 juta.
Chris memandang bahwa pulau-pulau kecil dan terpencil, kini, telah layak huni. Minat terhadap kepemilikan pulau-pulau kecil melonjak drastis saat pandemi Covid-19 melanda. Saat itu, orang-orang membutuhkan tempat yang aman, “seperti halnya mereka menginginkan bungker perlindungan dari bom,” ujar Chris. Pulau kecil memenuhi kebutuhan tersebut.
Pasca-Covid-19, ketertarikan masyarakat atas pulau-pulau kecil tidak luntur. Faktor pendorongnya bukan lagi “ketakutan,” melainkan keinginan untuk menjauh dari keramaian dan kepadatan kota-kota besar. Sebuah pulau, terang Chris, “adalah versi ekstremnya.”
Jual beli pulau kecil tidak sekali saja muncul
Isu perdagangan pulau di Indonesia adalah masalah lama yang terus terulang. Pada tahun 2006, beberapa pulau di Kabupaten Manggarai Barat dan Sumba Timur—keduanya di Nusa Tenggara—disinyalir dijual kepada warga asing.
Setahun berselang, masalah serupa menyeret Pulau Bawah yang terletak di perairan selatan Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Pemerintah menemukan indikasi jual beli atas beberapa pulau di daerah tersebut. Bupati Natuna kala itu, Daeng Rusnadi, menegaskan gugusan pulau yang dimaksud—berjumlah lima buah—tidak dijual kepada asing, melainkan hanya dikelola. Daeng menambahkan bahwa pihak asing yang “mengurus” pulau adalah warga negara Amerika Serikat, yang membayar ‘modal’ sebesar Rp1 miliar kepada pemerintah.
Pengelolaan pulau ini ditujukan demi mengantisipasi kegiatan ilegal. Di sana, pemerintah juga akan berpartisipasi dengan membangun helipad (landasan helikopter), pelabuhan, hingga jalan lingkar. Pada tahun 2009, masalah penjualan pulau kembali mengemuka dengan Pulau Tatawa, Nusa Tenggara Timur, sebagai subjeknya. Pejabat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) diduga ikut campur dalam proses jual beli ini, dengan modus mengeluarkan sertifikat atas nama warga yang tidak bermukim di wilayah itu.
Masih pada tahun yang sama, giliran pulau di Mentawai yang dikabarkan masuk situs lelang, namun pemerintah pusat menepis informasi ini. Bergeser ke tahun 2021, warga melaporkan praktik penjualan Pulau Lantigiang di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Harga jualnya disebut mencapai Rp900 juta.
BBC News Indonesia juga mendapati bahwa jual beli pulau dengan Private Islands Inc. selaku perantara tidak hanya terjadi baru-baru ini. Pada tahun 2021, pulau yang berlokasi di Lombok Barat dan Kepulauan Riau juga terpampang di website Private Islands Inc. dengan status “dijual.” Namun, Pemerintah Provinsi NTB menyatakan “informasi dan situs tersebut tidak jelas.”
Senada dengan Pemprov NTB, pemerintah di Kepulauan Riau mengungkapkan “isu jual beli pulau tidak benar.” Pulau-pulau yang masuk radar Private Islands Inc. saat itu berada di area Anambas, mirip dengan kasus yang terjadi sekarang. Indikasi jual beli pulau di Kepulauan Riau masih berlanjut dengan kasus Pulau Tambelan, Kabupaten Bintan, yang ditawarkan melalui Instagram seharga Rp1,4 triliun.
Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, telah meminta aparat penegak hukum menelusuri penjualan tersebut, menegaskan bahwa pulau di wilayahnya tidak akan bisa dilelang oleh siapapun. Tiga tahun yang lalu, pada tahun 2022, pulau-pulau di kawasan Kepulauan Widi, Maluku Utara, diberitakan tercatut di situs pelelangan di luar negeri. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menampik kalau pulau-pulau itu dijual.
Tito menjelaskan bahwa keberadaan pulau-pulau di Kepulauan Widi di laman jual beli merupakan upaya pengelola yang ditunjuk pemerintah, PT Leadership Islands Indonesia, dalam rangka mencari investasi. “Tujuannya bukan lelang buat dijual. Tujuannya untuk menarik investor asing. Nah, itu boleh-boleh saja,” ujar mantan kapolri ini. Pada tahun 2023, isu penjualan pulau menyasar Pulau Poto yang berada di area Kepulauan Riau. Jajaran Pemkab Bintan segera mengklarifikasi kabar ini, menggarisbawahi bahwa jual beli tersebut tidak terjadi.
Perlindungan terhadap pulau-pulau kecil—beserta kawasan pesisir—termuat jelas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007. Menurut beleid tersebut, pulau-pulau kecil dan pesisir ditempatkan sebagai pilar penyangga dan penjaga ekosistem. Pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² (dua ribu kilometer persegi).
Dengan demikian, segala kegiatan yang dilakukan di pulau-pulau kecil, pertama dan utama, difungsikan untuk konservasi. Meski begitu, peluang pengelolaan di pulau-pulau kecil tetap dibuka, meskipun sangat dibatasi. Aturan yang dikeluarkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2016 menjelaskan bahwa penguasaan atas pulau-pulau kecil oleh swasta paling banyak 70% dari luas pulau.
Sisanya, 30%, dikuasai langsung oleh negara dan “digunakan serta dimanfaatkan untuk kawasan lindung, area publik, atau kepentingan masyarakat,” demikian tertulis dalam Pasal 9 ayat (2b). Aturan lain yang dipublikasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengungkapkan bahwa pelaku usaha—swasta—yang diberi hak pengelolaan diwajibkan mengalokasikan “paling sedikit 30% dari luasan lahan yang dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau (RTH).”
Jangka waktu pengelolaan pulau-pulau kecil diberikan sepanjang 30 tahun serta dapat diperbaharui sebanyak satu kali (untuk 30 tahun ke depan) dengan mempertimbangkan hasil penilaian teknis. Secara hitam di atas putih, tidak ditemukan poin yang secara eksplisit mempersilakan pulau untuk diperjualbelikan.
Namun, implementasi di lapangan, masalahnya, kerap menerabas aturan yang sudah disusun. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), sebuah organisasi nonpemerintah yang fokus pada isu maritim, Susan Herawati, menuturkan bahwa isu jual beli pulau tidak lahir dalam satu malam. “Pada 2018, kami sudah teriak-teriak soal privatisasi pulau. Catatan KIARA, tahun itu, ada 110 pulau yang sudah bukan milik kita lagi. Artinya, sudah dimiliki perorangan atau perusahaan, termasuk pertambangan,” ungkapnya menanggapi BBC News Indonesia, Senin (23/6).
Sekitar lima tahun setelah data itu dirilis, pada tahun 2023, angka pulau-pulau kecil yang dikuasai melonjak menjadi 226. Faktor mendasarnya, Susan menganalisa, adalah paradigma pemerintah. Sebagai pembuat kebijakan, kata Susan, pemerintah menganggap pulau-pulau kecil—baik yang berpenghuni atau tidak—harus diberdayakan melalui serangkaian penerbitan izin usaha maupun penanaman modal.
“Jadi, penjualan pulau ini, apalagi yang dipandang kosong, dipicu asumsi bahwa pulau-pulau itu bisa menghasilkan pendapatan melalui pajak, misalnya. Pemerintah tidak bisa melihat sebuah pulau itu kosong. Selalu ingin jual saja bawaannya. Itu yang jadi masalah,” kata Susan, menyoroti orientasi pemerintah.
Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor, Yoppie Christian, menambahkan bahwa pengelolaan atas pulau-pulau kecil, secara garis besar, dilihat melalui dua sudut pandang terhadap nilai dalam suatu aset: tukar dan guna. Dalam konteks “nilai guna,” pulau-pulau kecil dimanfaatkan untuk menunjang ekosistem hingga melindungi dari abrasi—pengikisan air laut.
“Nah, pemerintah lalu melihat daripada tidak diapa-apakan, tidak menghasilkan apa-apa, pulau-pulau kecil itu disewakan, dijual, dikelola dengan swasta sehingga sebagai aset, mereka bisa punya nilai tukar,” papar Yoppie kepada BBC News Indonesia, Senin (23/6). Dari sini, kebijakan yang dikeluarkan, pada akhirnya, menjustifikasi cara pandang tersebut.
Ketentuan pembagian porsi 70% dan 30% yang ditetapkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN), sebagai contoh, dinilai tidak seimbang, ucap Susan. Pasalnya, ia menuturkan, “70%—untuk swasta—itu bukan angka sedikit.” “Kalau satu pulau, katakanlah, 70% dimiliki [pihak] privat, otomatis nyaris 70% itu [membuat] nelayan tidak bisa singgah di sekitar area itu,” imbuhnya. “Sudah pasti mereka akan diusir.”
Eksistensi pulau-pulau kecil, Yoppie menyatakan, dipengaruhi oleh lanskap yang sempit dengan daya dukung masing-masing pulau yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Alhasil, pemberian jatah 70-30 menunjukkan betapa ketentuan tersebut “masih mengikuti logika pengelolaan tanah di kota [darat],” tandas Yoppie.
Hitung-hitungan untung dan rugi menempatkan nelayan serta ekosistem lingkungan di pulau-pulau kecil sebagai pihak yang paling terdampak. Bagi nelayan, ruang gerak mereka dalam menangkap ikan kian terjepit. Sementara pembangunan yang timbul berkat penguasaan terhadap tanah di pulau-pulau kecil membikin aspek ekosistem menjadi terancam.
Riset berjudul Ekonomi Politik Konflik Agraria Pulau Kecil (2018) yang disusun Yoppie beserta dua koleganya, Arif Satria dan Setyawan Sunito, menerangkan bahwa pulau-pulau kecil mempunyai karakter yang berbeda dengan wilayah lain berupa “keterpisahan” (insularitas) dari daratan utama. Dari sisi biodiversitas, “keterpisahan” memengaruhi sumber daya hayati di pulau-pulau kecil menjadi bernilai lebih tinggi. Namun, dari aspek sosial, “keterpisahan” merupakan kerentanan berskala besar.
“Ketika kerentanan ini bertemu dengan kuasa dan orientasi yang memandang kekayaan hayati sebagai komoditas, maka kekayaan ekologis tersebut bisa jadi akan menghadapi tekanan,” tulis penelitian itu. Pembangunan yang dominan mengarah ke profit, lanjut riset Yoppie, hanya kian meletakkan pulau-pulau kecil dalam periferi—tepi atau batas luar suatu objek—perluasan “pertumbuhan kota yang memiliki tingkat risiko yang tinggi.”
Yoppie berpandangan, eksploitasi pulau-pulau kecil—mulai dari penambangan nikel hingga dinamika jual beli—merupakan bagian dari agenda pembangunan pemerintah dan kepentingan kapital yang telah solid bersekutu pasca-1998. “Sebelumnya kita melihat bagaimana hutan hujan tropis dikeruk habis-habisan, lalu diteruskan ke hutan-hutan di dataran rendah yang mayoritas untuk keperluan [perkebunan] sawit. Makin ke sini, trennya berubah lagi ke pesisir,” jelasnya. “Kini, kita melihat pulau-pulau kecil jadi sasaran tembak karena secara potensial begitu tinggi.”
Situasi bertambah runyam belaka tatkala, Yoppie berpendapat, “pemerintah tidak pernah menjalankan regulasi secara konsekuen.” Padahal, secara garis besar, pulau kecil ialah ruang khas yang membutuhkan perlindungan. Susan mencontohkan kondisi di sekitar Kepulauan Seribu yang, menurut pengamatannya, “sudah diprivatisasi dan rata-rata itu adalah hasil reklamasi.”
“Jadi mereka ambil pasir, karang, dari sekitar pulau. Kemudian mereka membuat daratan baru. Terus kemudian, apakah negara pernah mengawasi resor-resor nakal ini? Tidak pernah sama sekali. Itu masalah sebenarnya,” ucap Susan. Kebijakan pembangunan secara masif, beserta efek buruk yang mengiringinya, diprediksi Yoppie bakal berlanjut pada tahun-tahun mendatang, sekaligus menjadi wajah keberpihakan pemerintah yang pro-pengusaha.
Dalam taraf tertentu, ketika semua saluran sudah dijajaki dan tidak ada lagi hasil yang memuaskan, pemerintah, ucap Yoppie, akan mengurai pintu-pintu lain yang bahkan tujuan utamanya bukan untuk merusak, melainkan melestarikan. Yoppie menyebutnya sebagai green grabbing, metode atau pola perampasan ruang hidup dengan topeng segala hal yang ‘hijau’—seperti energi terbarukan serta mitigasi krisis iklim.
Pemerintah, dalam hubungannya dengan masalah jual beli ini, mengaku akan melindungi posisi pulau-pulau kecil. Pasalnya, kehadiran mereka beririsan erat dengan ihwal kedaulatan negara. Menteri ATR-BPN, Nusron Wahid, menegaskan “satu pulau tidak mungkin dapat dijual ke satu orang.”
“Apalagi kalau statusnya hak guna bangunan (HGB), tidak bisa dimiliki sama pihak asing, baik badan hukum maupun perorangan,” ujar Nusron, Minggu (22/6). Susan menyebut investasi yang mengeruk habis sumber daya di pulau-pulau kecil tidak sebatas mengikis—secara harfiah—kandungan di daerah tersebut melainkan juga “harga diri kita sebagai negara kepulauan.”
“Masak negara kepulauan jual pulau?” pungkasnya.
- Nasib puluhan pulau kecil selain Raja Ampat yang terancam tambang
- Izin empat perusahaan di Raja Ampat dicabut – Apa untung-rugi menambang di pulau-pulau kecil?
- Kisah perempuan Papua di balik peristiwa viral Save Raja Ampat – ‘Biarpun ditangkap, saya tetap berjuang’
- Pulau Rempang: ‘Kami tidak akan pindah meski kami terkubur di situ’
- ‘Penjualan pulau’ milik Indonesia, perusahaan Kanada: ‘Kami hanya menyewakan’
- Pulau Tojo Una-una di Sulawesi ‘dijual’ perusahaan Kanada, lima pulau lain disewakan
- MK tolak dalil perusahaan nikel, DPR dan pemerintah – ‘Aktivitas tambang tak boleh masuk pulau kecil’
- Pulau-pulau kecil ramah lingkungan, antara ‘harapan menerangi dunia atau sekedar tetesan air di lautan’
- Ternate, pulau tempat ditulisnya teori evolusi
- Mengapa pemerintah Indonesia mendaftarkan 1.700 ‘pulau baru’ ke PBB?
- Iklan penjualan rumah di Karimun Jawa untuk WNA, warga lokal khawatir ‘terusir dari kampung sendiri’
- Mengapa rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk lahan pangan ‘untungkan korporasi dan rugikan warga’? – Kesaksian Orang Rimba yang tersisih dari hutan leluhur