Mengapa Gubernur Jakarta membuka taman selama 24 jam?

Matahari mulai redup ketika Ani, 10 temannya, dan anak-anak mereka melangkahkan kaki keluar dari Tebet Eco-Park, taman di Jakarta Selatan. Ani bersama rombongannya sudah di taman itu untuk “healing” sejak pagi.
Nina dan Mawar, dua ibu dari Manggarai—tidak begitu jauh dari Tebet—juga bersiap untuk pulang, setelah melepaskan anak-anak mereka berlarian di arena bermain anak yang tersedia di taman.
Namun, pengunjung lainnya tetap bertahan: belasan remaja tanggung yang berlatih bela diri, kelompok baca sebanyak 40-an orang yang duduk berkelililing dalam dua lingkaran, serta belasan perempuan yang memasang musik keras-keras sembari berolahraga pound-fit.
Jelang magrib, lampu-lampu taman dinyalakan. Ada saja pengunjung yang masih masuk ke taman.
Tebet Eco-Park, taman seluas tujuh hektare, berada di wilayah yang menjadi salah satu pusat kongko anak muda Jakarta. Sejak dibuka April 2022, taman itu selalu ramai pengunjung.
“Sejam bisa sampai seribu orang yang masuk,” kata seorang petugas keamanan kepada wartawan Hilman Handoni yang melaporkan untuk BBC News Indonesia. Sembari berkata demikian, sang petugas memperlihatkan alat penghitung kecil di tangan kanannya.
Sedemikian ramainya, taman tersebut kerap bikin macet. Warga sekitar pun protes dan taman sempat ditutup dua bulan.
Tapi, tiga tahun berikutnya, DKI Jakarta dipimpin Gubernur Pramono Anung. Salah satu idenya membuka taman selama 24 jam, termasuk di Tebet Eco-Park.
Uji coba belum berlangsung, warga kembali protes. Gubernur akhirnya batal menjadikan Tebet Eco-Park sebagai taman 24 jam.
Meski demikian, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, tetap membuka lima taman yang beroperasi selama 24 jam pada pertengahan Mei lalu.
“Saya bayangkan bahwa Jakarta akan mempunyai banyak tempat untuk bertemu, bersilaturahmi, berbagi,” kata Pramono yang dalam kampanyenya berjanji membuka taman 24 jam dalam periode 100 hari pertama pemerintahannya.
Lima taman yang dibuka adalah Taman Menteng Jakarta Pusat; Taman Lapangan Banteng di Jakarta Pusat; Taman Ayodya di Jakarta Selatan; Taman Langsat di Jakarta Selatan; dan Taman Literasi Martha Christina Tiahahu di Jakarta Selatan.
Selain lima taman itu, Pemprov Jakarta menambah jam operasional Tebet Eco Park hingga pukul 22.00. Hal ini kontras dengan periode pandemi.
Saat itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup akses ke taman-taman supaya warga tidak berkerumun. Ketika pandemi mereda, jam operasional taman dibatasi hanya sampai pukul 18.00.
Dari potensi asusila hingga kejahatan
Sebagian kalangan mengritik kebijakan pembukaan taman selama 24 jam karena dianggap akan meningkatkan kasus kejahatan dan asusila.
Di media sosial juga muncul perdebatan setelah beredar rekaman video pasangan yang dituduh mesum di sebuah taman di Jakarta Selatan.
Sementara itu pada Jumat (13//6) seorang mahasiswa yang sedang melintas di Lapangan Banteng juga kena todong. Korban dipaksa menyerahkan perangkat-perangkat elektronik miliknya.
Di Taman Menteng, aksi kriminal, seperti penjambretan, masih berlangsung. Hal itu diakui komandan regu keamanan Octora Purba.
“Terutama di tempat-tempat sepi dan agak gelap seperti di situ,” katanya menunjuk ke arah halte Taman Menteng yang kurang penerangannya.
Yang mesum? Ada saja, kata Purba. “Barusan saya tegur,” kata Purba.
Taman Menteng adalah favorit pasangan yang sedang dimabuk asmara. Mereka datang tak kenal waktu. Pagi hingga malam ada saja, kata Purba.
Dua remaja, Ahya dan Fifi, baru datang di Taman Menteng sekitar pukul 19.00. Mereka segera duduk di sebuah sudut taman. Keduanya sibuk dengan gim di layar gawai masing-masing.
Datang pertama kali ke Taman Menteng, mereka mengaku tidak antusias dengan ide taman buka 24 jam. “Takutnya disalahgunakan,” kata Fivi.
“Mendingan perpustakaan [yang dibuka 24 jam],” Ahya menimpali.
Malam makin larut. Bangku-bangku terisi oleh pasangan dan anak-anak sekolah yang selesai latihan tari. Remaja lainnya masih bermain basket di lapangan tengah taman. Keluarga-keluarga mulai berkemas dan pulang. Tapi pengunjung tak lantas berhenti.
Lepas pukul 21.00, ada saja pengunjung yang baru datang, menggantikan mereka yang pergi.
Mereka menempati pojok-pojok taman yang temaram. Sementara yang tak kebagian bangku, duduk di bagian yang terang benderang.
“Tengah malam biasanya ada saja klub motor yang datang bergerombol,” kata seorang penjual nasi goreng.
Hingga jelang tengah malam, paling tidak di malam itu, belum ada gerombolan klub motor atau kelompok besar lainnya yang mampir.
Pengawasan dan peluang ekonomi
Pembukaan taman selama 24 jam, kata juru bicara gubernur Cyril Raoul Hakim, dimaksudkan agar warga bisa menikmati ruang-ruang di kota hingga larut malam.
Kebijakan ini juga memiliki dua manfaat lainnya, klaim Cyril.
Pertama, kemudahan mengawasi kerumunan dan kegiatan di malam hari.
“Kalau kita membuka satu ruang yang khusus, akan lebih terkonsentrasi, terpusat kegiatannya. Termasuk juga kegiatan-kegiatan yang kita anggap selama ini tidak baik. Ketika ada tempat yang khusus, itu kan lebih mudah untuk memantau,” ujarnya.
Manfaat kedua adalah putaran ekonomi.
“Kita tahu banyak sekali usaha-usaha yang berkembang sekarang di tengah ekonomi yang sulit. Dan taman itu menjadi salah satu opsi sehingga di malam hari pun [mereka] bisa tetap berjualan dan meningkatkan perekonomian mereka,” kata Cyril.
Klaim itu setidaknya terbukti di Taman Menteng.
Bahiruddin, seorang penjaja kopi keliling, mengaku dia dan teman-temannya yang seprofesi mengalami peningkatan pendapatan sejak Taman Menteng dibuka sampai larut malam.
“Biasanya dapat Rp100.000. Sekarang bisa Rp150.000,” kata Bahiruddin.
Ini belum menghitung penjaja makanan lainnya, seperti Pak Siregar yang menjajakan nasi gorengnya persis di pinggir taman.
Karena pertimbangan-pertimbangan itulah kebijakan pembukaan taman 24 jam akan terus dilakukan. Tapi untuk itu, Cyril menegaskan dialog akan terus dilakukan dengan warga sekitar taman.
Taman-taman yang akan dibuka juga akan dipertimbangkan lokasinya, agar tidak terlalu berpusat pada wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. “Termasuk Pulau Seribu,” katanya.
Masalah keamanan
Niken Prawestiti mengaku agak kaget ketika ketika Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mencetuskan ide untuk membuka taman selama 24 jam.
Niken, bersama teman-temannya yang bergabung dalam gerakan Ayo Ke Taman, sebelumnya mempertanyakan komitmen tiga kandidat gubernur soal akses terhadap taman.
Pertanyaan ini, kata Niken, berangkat dari kondisi banyak pekerja dan kelas menengah yang butuh ruang terbuka yang bisa diakses pada malam hari tanpa harus ke mal. Taman-taman di Jakarta saat itu masih ditutup hingga pukul 18.00, sebagai imbas dari pandemi.
“Jadi sebenarnya ekspektasi kami itu tidak dibuka 24 jam,” katanya lagi.
Niken paham membuka taman 24 perlu persiapan lapangan yang tidak sedikit, “Saya sebagai perempuan merasakan ruang publik itu belum cukup aman,” ujarnya.
Sebelum membuka taman sepanjang hari, menurut Niken, perlu dipikirkan ekosistem keamanan yang saling terhubung, misalkan dengan kantor polisi.
“Misalnya kita mau lapor ke mana sih kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan? Ada hotline apa enggak? Seberapa cepat responsnya? Kalau di ruang-ruang publik seperti stasiun itu sudah ada panic button. Jadi nanti terhubung, misalnya, dengan pos polisi,” paparnya.
Petugas keamanan, tambah Niken, juga harus ramah, cepat tanggap, dan memberikan edukasi agar pengunjung taman memiliki “budaya bertaman.”
“Jadi misalnya saya berpasangan, saya merasa ruang itu hanya milik saya dan pasangan saya padahal itu kan milik publik, sehingga saya harus menjaga perilaku.”
“Sebenarnya enggak harus kok semua taman itu dibuka 24 jam. Pertama, enggak semua kebutuhan manusia itu harus diakomodasi tanpa batas. Kita masih punya burung, pohon yang butuh istirahat. Sebenarnya taman dibuka jam 10 malam itu cukup kok,” kata dia.
Soal keamanan taman, juru bicara gubernur Jakarta, Cyril Raoul Hakim, mengatakan pemerintah terus melakukan evaluasi.
“Pengaturannya serta intensitas mereka berkeliling untuk berpatroli [akan ditingkatkan]. Kita juga ingatkan petugas keamanan jangan cuma nongkrong di pos,” katanya terkait langkah pengamanan di taman-taman yang buka 24 jam.
“Apa yang mesti ditambah, apa yang mesti dikurangi, apa yang mesti diperlengkapi, kita sadar bahwa tentu termasuk terkait dengan keamanan dan kenyamanan,” kata Cyril sembari menegaskan bahwa kebijakan akan berjalan terus dengan pembukaan taman-taman yang lain.
Di Taman Menteng, misalnya. Dengan luas hampir tiga hektare, taman tersebut dijaga oleh tujuh petugas secara bergantian dalam tiga sif kerja selama 24 jam.
Perihal keamanan ini penting, kata dosen arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Joko Adianto.
“Yang paling penting tuh juga isu terkait masalah premanisme ya. Kita semua tahu bahwa ruang publik itu seringkali memang ada kontestasi kelompok-kelompok.”
Di samping itu, Joko Adianto, menyebut beberapa hal pokok yang perlu diantisipasi.
Pertama, soal sampah. Bagaimana pun kerumunan yang mengundang kaki lima sudah pasti akan menghasilkan sampah yang tidak sedikit.
Kedua, soal parkir yang kerap menimbulkan konflik dengan warga di sekitar taman. Ini juga yang bikin masalah di Tebet Eco-Park.
Parkir liar juga mungkin akan tumbuh karena kebanyakan taman tak dilengkapi fasilitas parkir dan tak semuanya memiliki akses transportasi yang memadai.
Dimulai dari level perumahan
Sebenarnya, buat Nina dan Ani, pergi ke taman tak juga gratis. Mereka mesti keluar ongkos dari Condet dan Manggarai untuk sampai Tebet Eco-Park.
Namun, taman-taman yang cantik dan buka 24 jam tak tersebar di semua tempat.
“Pembangunan di Jakarta atau kota-kota besar di Indonesia khusus pada umumnya itu lebih berfokus pada jalur arteri, jalan protokol. Itu yang akan dibenahi atau dibeutifikasi [dipercantik],” kata Joko Adianto.
Program pembangunan seperti ini, menurutnya, kerap bersifat dari atas ke bawah dan cenderung mengabaikan wilayah-wilayah sekunder atau permukiman-permukiman yang tidak berada di jalan arteri.
“Kebutuhan untuk interaksi itu kan sebenarnya dimulai dari level yang cukup kecil ya. Pertama adalah di daerah perumahan, antar-tetangga, dan setelah itu baru di level kota,” ujarnya.
Tapi program pembukaan taman ini dimulai dari jalan-jalan besar dan di pusat kota.
Karena itu, menurut Joko, pemerintah sebenarnya bisa memulai program ini dari level terkecil yang pada akhirnya malah mengundang partisipasi warga untuk saling menjaga dan memelihara fasilitas taman.
Partisipasi warga, kata Niken dari gerakan Ayo Ke Taman, bahkan bisa dimulai dari perencanaan.
“Kita yakin taman itu adalah ruang publik, sehingga harus melibatkan publik dengan tanya ke warga sekitar maunya taman seperti apa?”
Baik Niken maupun Joko setuju bahwa ruang terbuka untuk berinteraksi tak mesti berbentuk taman.
“Sebenarnya RPTRA [Ruang Publik Terpadu Ramah Anak] itu pun juga kalau mau dimanfaatkan juga bisa berfungsi 24 jam kan ya,” kata Joko.
- Adakah hunian terjangkau untuk masyarakat urban di tengah kota?
- Bertandang ke Kalijodo dan ruang publik lainnya di Jakarta
- Gerakan baca buku menjamur di tengah tuduhan literasi rendah, tapi apa itu cukup?
- Kota ternyaman di dunia adalah Wina, WNI: ‘Kotanya tenang, tertib, udara segar’
- Cerita di balik nama ‘Gang Banjir’ di Jakarta Timur – Ketika banjir dan air menjadi nama tempat di Ibu Kota
- Kota Satelit Kebayoran Baru dulu dan sekarang: Kisah perumahan Peruri, rumah Jengki, hingga CSW
- Tiko dan Ibu Eny, kisah keluarga yang mencoba bertahan hidup di dalam rumah besar di Jakarta
- Mengungkap Kastel Batavia yang terkubur zaman – bisakah jadi cagar budaya Jakarta?
- Sejumlah nama jalan Jakarta diganti, warga: “Ribet dah!”
- Masjid kuno ‘multi etnik’ Angke yang dirancang dan dibangun warga Tionghoa
- Kampung Kramat, keluarga KNIL, dan kisah penyelamatan warga Maluku dari amuk massa anti-Belanda 72 tahun silam
- Kisah Rasuna Said sang ‘Singa Betina’ dan Martha Christina Tiahahu sang remaja pemberani