Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
Politics

Kejaksaan Agung kerja sama soal penyadapan dengan operator telekomunikasi – Apa masalahnya?

Kerja sama Kejaksaan Agung dengan sejumlah penyedia layanan telekomunikasi terkait penyadapan dinilai “problematis” oleh pengamat dan pegiat hak digital karena tindakan itu tergolong pengawasan massal yang berpotensi melanggar hak atas privasi.

Peneliti isu kebijakan digital, Wahyudi Djafar, mengatakan belum ada regulasi yang mengatur pembatasan aktivitas penyadapan oleh Kejagung.

“Menjadi problematis ketika membaca bagaimana kesepakatan antara Kejaksaan Agung dengan operator-operator ini…[karena] mengesankan bahwa Kejaksaan Agung akan melakukan istilahnya surveillance [pengawasan] massal,” kata Wahyudi.

Sementara itu, pegiat hak digital, Nenden Sekar Arum, menegaskan warga sebagai konsumen seharusnya mengetahui dan bisa memberi persetujuan akan kemungkinan terjadinya penyadapan.

“Karena kalau misalnya tidak ada persetujuan dari penggunanya, dari kita, itu sebenarnya sudah melanggar hak atas privasi yang ada di PDP [UU Perlindungan Data Pribadi],” kata Nenden.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengklaim pihaknya tidak akan sembarangan melakukan penyadapan.

“Ini murni karena dalam konteks penegakan hukum, perlu ada fungsi yang bisa mendukung membantu itu sehingga perlu dikerjasamakan,” kata Harli, Kamis (26/06), seperti dikutip dari dari Kompas.com

Ketua DPR, Puan Maharani, menekankan perihal hak konstitusional atas data pribadi.

“Penegakan hukum sangat penting, tapi Kejaksaan harus memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi karena hak privat adalah hak konstitusional,” tukas Ketua DPR Puan Maharani, seperti dikutip dari Tempo, Jumat (27/06).

Kejaksaan Agung diketahui meneken nota kesepahaman dengan empat penyedia layanan komunikasi, yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk, dan PT Xl Smart Telecom Sejahtera Tbk, Selasa (24/06).

Kerja sama ini dimaksudkan penguatan pertukaran dan pemanfaatan informasi untuk kebutuhan intelijen.

Mengapa perjanjian kerja sama soal penyadapan ini dianggap bermasalah?

Peneliti kebijakan digital dari Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar, menjelaskan selama ini kejaksaan belum memiliki regulasi yang mengatur pembatasan penyadapan.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 30 C menyebut “penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.”

“Sayangnya Undang-Undang Penyadapan itu belum ada,” kata Wahyudi kepada wartawan Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (27/06).

Mengapa pembatasan penyadapan penting?

Wahyudi menjelaskan, penyadapan tak dapat dilakukan secara sewenang-wenang karena sifatnya membatasi hak asasi seseorang.

Karena itu, menurutnya, pembatasan harus ada. Bentuknya dapat berupa ketentuan, seperti penyadapan wajib mendapat surat perintah pengadilan atau untuk kasus-kasus dengan barang bukti yang cukup.

“Tidak bisa kemudian secara umum melakukan pemantauan,” kata Wahyudi.

Baca juga:

  • Tentara jaga kejaksaan, upaya Prabowo lemahkan pengaruh Jokowi?
  • Alat sadap ‘Pegasus’ buatan Israel diduga digunakan polisi Indonesia
  • Dugaan korupsi pengadaan laptop era Nadiem yang dimulai dari ambisi digitalisasi – Bagaimana duduk perkaranya?

Tanpa pembatasan penyadapan yang jelas, Kejaksaan bisa “mengakses data secara terus-menerus, melakukan penyadapan secara terus-menerus terhadap komunikasi-komunikasi personal melalui provider-provider telekomunikasi yang melakukan kesepakatan dengan Kejaksaan Agung ini,” jelas Wahyudi.

“Ini sangat-sangat mengancam perlindungan hak atas privasi warga negara,” tambahnya.

Wahyudi mencontohkan lembaga penegak hukum lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu meminta izin kepada organ internal, yakni Dewan Pengawas, untuk melakukan penyadapan.

Apa yang bisa dilakukan untuk meminimalkan pelanggaran hak digital?

Pegiat hak digital dari Safenet, Nenden Sekar Arum, menjelaskan warga perlu memberikan persetujuan terlebih dahulu perihal hal-hal apapun yang dilakukan penyedia layanan telekomunikasi terhadap data pribadi milik mereka.

Nenden mengacu pada Undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang mengatur pemrosesan data pribadi.

“Karena kalau tidak ada persetujuan dari penggunanya, dari kita, itu sebenarnya sudah melanggar hak atas privasi yang ada di PDP,” kata Nenden.

Baca juga:

  • UU Perlindungan Data Pribadi disahkan, tapi pengamat sebut implementasinya berpotensi jadi ‘macan kertas’
  • Sebanyak 34 juta data pemegang paspor Indonesia diduga ‘bocor’ – ‘Rakyat yang menderita, pemerintah paling dapat malu’

Ia menambahkan perusahaan penyedia layanan perlu juga menginformasikan jenis data apa yang dibagikan kepada aparat penegak hukum.

Lebih jauh, Nenden mengatakan pembagian data kepada aparat penegak hukum ini juga perlu dilakukan terukur.

“Harusnya hanya orang-orang yang memberikan consent-lah [persetujuan] yang, kemudian datanya bisa dibagikan. Kalau enggak, berarti itu sudah melanggar ya hak atas privasi,” kata Nenden.

Nenden menjelaskan warga atau konsumen yang tak berkenan dengan kebijakan ini bisa mencoba meminta penjelasan kepada perusahaan via layanan pelanggan.

Lebih jauh, menurut Nenden, jika konsumen tak mendapat layanan yang memuaskan, mereka bisa mulai menginisiasi tindakan hukum.

“Kalau misalnya kita enggak dapat jawaban yang memuaskan atau bahkan misalnya bilang customer service-nya enggak tahu soal itu, mungkin kita bisa lanjut ke konteks somasi,” kata Nenden.

Apa kata asosiasi layanan internet soal kerja sama penyadapan?

Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif, memandang kerja sama antara Kejagung dan operator telekomunikasi sudah baik karena penyadapan dilakukan pihak yang tepat.

“Menurut saya itu bagus karena pihak-pihak yang bisa menyadap ini pihak-pihak yang bertanggung jawab, jadi enggak dipakai tidak pada tempat semestinya,” kata Arif, Jumat (27/06).

Arif menjelaskan, konsumen memang perlu memahami betul syarat dan ketentuan mengenai layanan telekomunikasi yang mereka gunakan. Hal ini menurutnya berguna agar konsumen memahami hal apa saja yang bisa dilakukan penyedia jasa terhadap data-data yang mereka miliki.

Namun, di sisi lain ia menilai, perusahaan juga perlu bersikap transparan mengenai kebijakan-kebijakan terkait kemungkinan penyadapan.

“Baiknya memang disosialisasikan juga ke seluruh konsumen,” kata Arif.

Related Articles

Back to top button