JRKN: Revisi UU Narkotika Harus Mengedepankan Pendekatan Kesehatan

Beritasob.com – , Jakarta – Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) meminta pemerintah mengedepankan pendekatan kesehatan dalam proses penyusunan kebijakan narkotika, termasuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).
Gabungan 24 lembaga masyarakat yang mayoritas berfokus pada reformasi hukum, kesehatan, dan ilmu pengetahuan tersebut menilai kebijakan narkotika yang berlaku selama lebih dari dua dekade di Indonesia cenderung keras namun tidak efektif. “Pengguna tetap membeludak, penjara penuh sesak, dan program rehabilitasi berjalan tanpa arah yang jelas,” kata Tim Penanganan Kasus LBH Masyarakat (LBHM) Aisya Humaida dalam konferensi pers memperingati Hari Anti-Narkotika Internasional yang digelar di Jakarta Selatan, Rabu, 25 Juni 2025.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) per Desember 2024, terjadi overcrowding rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia sebesar 94,56 persen dengan total jumlah tahanan sebanyak 268.718 orang, sementara kapasitasnya hanya berkisar untuk 138.128 orang. Adapun hampir 52 persen penghuninya merupakan tahanan kasus narkotika.
“Data Laporan Kinerja Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Tahun 2024 menunjukkan, setidaknya terdapat 140.474 orang yang terindikasi sebagai pengguna narkotika,” ujarnya.
Menurut RJKN, RUU Narkotika seharusnya memberikan kesempatan agar narkotika juga dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan. Proses revisi UU Narkotika yang saat ini dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI semestinya tidak hanya memposisikan narkotika dalam kerangka pidana, tetapi juga dalam kerangka hak atas kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada kesempatan yang sama, Richard Alexanderth Siregar dari Lingkar Ganja Nusantara (LGN) menilai pemerintah perlu sesegera mungkin melakukan penelitian mengenai penggunaan ganja medis. “Tentang urgensi penelitian ganja medis, LGN beranggapan harus dilaksanakan segera,” ujar dia.
Richard menyinggung adanya pertimbangan hakim untuk melakukan riset soal penggunaan ganja medis yang didasarkan pada putusan MK Nomor 106/PUU-XVIII/2020 yang kemudian digugat JRKN, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan LBH Masyarakat (LBHM). Dia menekankan, dalam hal ini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Kesehatan yang harus melakukan penelitian soal penggunaan ganja medis.
Di samping itu, JRKN juga melihat UU Narkotika yang berlaku saat ini masih menempatkan pengguna narkotika sebagai pelaku kriminal. Ribuan orang dari berbagai kalangan, bahkan remaja, dijatuhi pidana penjara hanya karena memiliki atau mengonsumsi narkotika dalam jumlah kecil.
JRKN memandang perlu adanya perubahan paradigma pendekatan narkotika dari yang berlandaskan penghukuman kepada pendekatan kesehatan, perlindungan HAM, dan berlandaskan pada kebijakan berbasis ilmu pengetahuan serta faktor historis. Revisi UU Narkotika yang sedang bergulir saat ini di DPR RI juga seharusnya bisa menjawab permasalahan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap setiap orang yang menggunakan narkotika.
Sebagai solusi, JRKN menyarankan aspek dekriminalisasi turut dimasukkan dalam pembahasan RUU Narkotika. “Dekriminalisasi bukan berarti melegalkan narkotika secara bebas, melainkan menghentikan pemidanaan individu yang memiliki dan menggunakan narkotika untuk konsumsi pribadi, dan mengalihkan pendekatannya ke ranah kesehatan dan sosial.”
Pilihan Editor: Mampukah Satgas Khusus Penerimaan Negara Menekan Korupsi