Jam Tangan Mewah dari Presiden untuk Timnas Picu Konflik: Apresiasi atau Simbol Ketimpangan?

JAKARTA, KOMPAS.TV – Ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan hadiah berupa jam Rolex kepada para pemain Timnas Indonesia, publik tidak hanya membicarakan soal euforia kemenangan atas China, tapi juga harga jam tangan yang disebut-sebut mencapai antara Rp181 juta hingga Rp300 juta per unit, tergantung seri dan spesifikasinya.
Dari unggahan Instagram Justin Hubner, jam tersebut diduga seri Rolex GMT Master-II 40mm.
Untuk memberi gambaran, Rolex GMT Master-II bukan sekadar penunjuk waktu. Ia adalah simbol status dengan mesin otomatis 3285, lapisan emas atau baja tahan karat, dan fitur timezone ganda. Harga pasarannya jika menilik situs resminya berkisar:
Momen Pemain Timnas Seru-Seruan di Rumah Prabowo hingga Dapat Jam Tangan Rolex
Melansir dari situs resmi Rolex, GMT-Master II dibanderol dengan harga Rp193.782.000.
Beberapa koleksi lain diantaranya:
- Rolex GMT Master-II Root Beer: Rp280–300 juta
- Rolex GMT Master-II Batman: Rp230–260 juta
- Rolex GMT Master-II Pepsi: Rp270–290 juta
Ada sedikitnya 17 varian GMT-Master II, paling murah di angka Rp181.671.00, sedangkan termahal bisa mencapai Rp830.496.000.
Bagaimana tak mahal, jam mewah asal Swiss tersebut menggunakan material Oystersteel (baja tahan karat 904L).
Model Rolex GMT-Master II ini juga kedap air hingga 100 meter karena menggunakan casing berbahan kaca berupa safir anti-gores dengan lensa cyclops.
Pada bagian material sisipan bezel, ada keramik berteknologi tinggi dengan Cerachrom-nya yang unik, yaitu hijau cerah pada bagian atas dan hitam pekat pada bagian bawah.
Dengan 26 pemain Timnas senior dan tambahan staf pelatih, total nilai hadiah ini tentu saja menyentuh angka miliaran rupiah—mungkin setara anggaran program pembinaan atlet di cabang lain.
[FULL] Analisis Pakar soal Peluang Timnas Indonesia Lawan Jepang-Jam Tangan Rolex Jadi Penyemangat?
Mantan atlet Wushu Lindswell Kwok Beri Kritik Pedas
Kritik paling vokal datang dari mantan atlet nasional wushu, Lindswell Kwok, yang menyoroti ketimpangan ini.
“Tentu bangga dengan prestasi sejawat. Tapi sudah adil belum pemerintah dalam memfasilitasi atlet-atletnya? Karena cabang olahraganya,” tulis Lindswell, saat Kompas.tv kutip dari unggahan Instagram-nya, Senin (9/6/2025).
Menurutnya, prestasi seharusnya menjadi tolok ukur utama dalam pemberian fasilitas dan apresiasi. Bukan popularitas semata. Ia pun menegaskan, kritik yang ia sampaikan tidak ditujukan kepada pemain Timnas, melainkan kepada sistem yang dinilai tidak adil.
“Sudah adil belum pemerintah dalam memfasilitasi atlet-atletnya? Karena cabang olahraganya?” tulisnya.
Ia menyinggung, atlet-atlet junior wushu yang telah berlatih selama delapan bulan, justru dipulangkan hanya melalui Zoom, tanpa penghargaan, tanpa kepastian.
“Bukan karena sejawat kita dapat apresiasi, lalu kita kepanasan. Tapi lihat dulu siapa yang kasih. PRESIDEN, DI MASA EFISIENSI, di mana cabor lain dicuekin.”
“Mereka mengorbankan sekolah untuk fokus di pelatnas, tapi tiba-tiba dipulangkan. Sekali lagi. Mereka dipanggil, mereka dikumpulkan (oleh Kemenpora), mereka juga dipulangkan secara tidak layak,” beber Lindswell.
Menurutnya, para atlet muda tersebut sudah menjalani pelatnas selama delapan bulan, mengorbankan waktu dan pendidikan demi negara.
Kala Pemain Timnas Pamer Jam Tangan Rolex Usai Bertemu Presiden Prabowo
Namun mereka justru didepak secara sepihak dengan dalih efisiensi anggaran dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
“MEREKA DIPULANGKAN. Dan karena ini adalah program Kemenpora, tentu kita tidak punya daya untuk mempertahankan,” ujarnya.
Dalam politik, simbol punya makna kuat. Semewah apapun bisa berbenturan dengan etika distribusi. Apalagi ketika yang diberi jam Rolex adalah cabang olahraga yang sudah mendapat paparan media, sponsor, dan perhatian nasional, sedangkan cabang lain seperti wushu, panjat tebing, atau angkat besi—yang rutin menyumbang medali di level dunia—justru dipangkas anggarannya.
Apakah ini sekadar bentuk apresiasi pribadi dari Presiden? Ataukah cermin ketimpangan sistemik dalam kebijakan olahraga nasional?