Kepada Tim dari Istana, 3 Masyarakat Adat Tegas Tolak PBPH di Pulau Sipora

Beritasob.com – , Padang – Masyarakat adat di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, menyampaikan penolakan mereka atas Izin Baru Usaha Pemanfaatan Hutan Pulau Sipora kepada tim dari Kantor Staf Presiden yang datang ke Pulau Sipora Mentawai, Rabu, 2 Jul 2025. Tim asal Jakarta itu mengaku menjaring aspirasi masyakat terkait Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT.Sumber Permata Sipora seluas 20.706 hektare di Pulau Sipora atau setara sepertiga luas pulau.
Dua anggota tim dari Kantor Staf Presiden itu adalah Syukriansyah S. Latif, tenaga ahli utama kedeputian II, dan Herbert Taruli Marpaung, tenaga ahli madya Kantor Staf Presiden. Keduanya bertemu dengan perwakilan tiga komunitas masyarakat adat Sipora di Uma Saureinuk, Desa Saurenuk, Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Ketiga komunitas adat itu adalah Uma Saureinuk dari Desa Saureinuk yang memiliki luas wilayah adat 7.846 hektare, Uma Usut Ngaik dari Desa Matobek yang memiliki luas wilayah adat 1.016 hektare, dan Uma Rokot juga dari Desa Matobek yang memiliki luas wilayah adat 941 hektarte. Hutan adat ketiganya masuk wilayag PBPH Sumber Permata Sipora.
Nulker Sababalat, anggota Uma Saureinuk yang mengikuti pertemuan, mengungkap kalau dalam rapat itu ketiga komunitas masyarakat adat telah menyampaikan penolakan terhadap izin konsesi terbaru yang dikeluarkan pemerintah pusat di Pulau Sipora tersebut. “Kami sudah menyampaikan penolakan, kami tidak setuju hutan adat kami masuk dalam PBHP PT Sumber Permata Sipora,” katanya kepada Tempo.
Nulker juga mengaku menyampaikan bahwa kehadiran PT.SPS tanpa persetujuan komunitas masyarakat adat setempa. Juga dengan hutan adat setempat yang telah mengantongi penetapan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Katanya tidak boleh dialihkan ke pihak lain, tetapi sekarang kementerian sendiri yang akan mengalihkan hutan adat ke pengusaha,” kata Nulker.
Secara umum, Nulker menambahkan, anggota komunitas adat mencemaskan masuknya perusahaan yang akan menebang hutan skala besar dan dalam jangka waktu yang lama. Dampak lingkungan dari aktivitas itu telah terbukti berupa bencana banjir seperti yang terjadi di Desa Saurenuk bulan lalu. Saat itu, pemerintah daerah setempat sampai menetapkan status tanggap darurat. “Apa lagi kalau hutannya semakin banyak yang ditebang, banjir akan semakin parah.”
Ditegaskan Nulker, tanah bagi orang Mentawai adalah pemersatu suatu suku, suatu klan, yang mengikat secara turun- temurun. Masuknya perusahaan yang mengeksploitasi hutan diyakini bakal melahirkan konflik antar suku dan bahkan membuat masyarakat adat berhadapan dengan aparat keamanan. “Biarkan kami mengelola tanah kami ini sesuai kearifan lokal, tidak pernah kami merusak alam sembarangan,” kata Nulker.
Menurut Nulker, semua itu disampaikan karena tim dari KSP mengaku datang untuk mengkaji apakah pengeloaan hutan lewat PBPH bakal bermanfaat atau perlu dikaji ulang. “Mereka ingin medengar informasi dari semua pihak,” katanya.
Sehari sebelumnya, tim dari KSP juga sudah bertemu dengan Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa di Kantor Bupati Mentawai di Tuapeijat, Pulau Sipora. Rinto Wardana tidak menjawab pesan permintaan konfirmasi dari Tempo, tetapi seorang peserta yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan bupati tegas menolak kehadiran PBPH Sumber Permata Sipora. “Kami yang hadir saat itu semuanya menyampaikan penolakan,” katanya.
Kedua anggota tim KSP, Syukriansyah dan Herbert, juga tidak menjawab saat dimintai konfirmasinya lewat pesan WhatsApp.
Pilihan Editor: Meneropong Nasib Hutan Adat di Revisi UU Kehutanan