Emak-emak Terjerat Narkoba: Motif Ekonomi dan Kisah Pilu di Baliknya

Badan Narkotika Nasional (BNN) baru-baru ini menyoroti fenomena mengkhawatirkan: semakin banyaknya ibu rumah tangga yang direkrut oleh sindikat narkoba sebagai kurir. Apa sebenarnya motif di balik keterlibatan mereka dalam jaringan gelap peredaran narkotika ini?
“Saya harus menafkahi anak, orang tua, dan adik saya,” tutur Rieka Merdeka Wati, seorang narapidana kasus narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Padang, pada Kamis (26/06). Ia menegaskan, “Kalau bukan karena tuntutan ekonomi, saya tidak mau melakukan ini.” Kalimatnya mencerminkan beratnya beban yang ia pikul.
Perempuan berusia 39 tahun itu diringkus pada tahun 2020. Di rumah Rieka, polisi menemukan paket kecil metamfetamina, atau sabu-sabu, yang siap ia antarkan kepada seseorang. Sebelumnya, Rieka mengaku telah beberapa kali berhasil lolos membawa paket narkoba. Sebagai satu-satunya pencari nafkah keluarga, ia merasa menjadi kurir adalah jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan harian.
“Kadang saya mendapat Rp6,5 juta untuk setiap 10 gram yang berhasil saya berikan kepada pelanggan,” ungkap Rieka kepada wartawan Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia. Angka ini terbilang fantastis, mengingat upah minimum kota Padang tahun ini hanya sekitar Rp3 juta.
Rieka bukan satu-satunya ibu rumah tangga yang harus mendekam di penjara karena terlibat dalam peredaran narkoba. Mayoritas dari 200 narapidana perempuan yang menjalani hukuman di LPP Padang terjerat kasus narkotika, menurut Kepala LPP Padang, Susi Pohan, dalam wawancara terpisah. “Sekitar 70% warga binaan perempuan di sini merupakan kasus narkoba. Kebanyakan dari mereka memang merupakan ibu rumah tangga yang ingin memperoleh penghasilan dengan mudah,” jelas Susi Pohan.
Pada awal pekan ini, Kepala BNN, Marthinus Hukom, menyatakan bahwa modus operandi sindikat narkoba “telah merambah dan memperdaya” para perempuan, khususnya ibu rumah tangga. “Ini harus menjadi perhatian,” ujar Marthinus, seperti dilansir kantor berita Antara pada Senin (23/06). Marthinus menyebut perkembangan ini tercermin dari banyaknya perempuan yang ditangkap BNN antara April dan Juni 2025. Dari 285 tersangka pengedar narkotika yang ditangkap dalam periode tersebut, 29 di antaranya adalah perempuan, dan mayoritas berstatus ibu rumah tangga.
Sebelumnya, BNN Provinsi Sulawesi Selatan juga mengumumkan penangkapan empat ibu rumah tangga sebagai tersangka kurir narkoba di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada 21 Juni 2025. Mereka direkrut untuk membawa narkoba dari Malaysia ke Indonesia dengan imbalan sekitar Rp30 juta hingga Rp40 juta sekali antar, sebagaimana dilaporkan Antara. Data BNN secara keseluruhan pun menunjukkan peningkatan jumlah ibu rumah tangga yang terlibat dalam kasus peredaran narkotika. Pada tahun 2022, dari total 1.181 tersangka, 10 di antaranya merupakan ibu rumah tangga. Jumlah ini meningkat signifikan menjadi 36 orang dari total 1.422 tersangka pada tahun 2023. Tren terus berlanjut, dengan 39 ibu rumah tangga menjadi tersangka kasus narkoba dari total 1.315 tersangka pada tahun 2024.
Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Sulistyo Pudjo Hartono, menilai total ibu rumah tangga yang terlibat dalam sindikat narkoba di lapangan mestinya jauh lebih banyak lagi. “[Angka tadi] seperti puncak gunung es. Kita [BNN] sudah berkeliling di Indonesia. Di banyak daerah, banyak sekali pengedar kecil yang merupakan ibu rumah tangga,” ujar Sulistyo kepada BBC News Indonesia di Jakarta, pada Kamis (26/06). Ia menambahkan, para perempuan sering kali direkrut sebagai kurir kecil dan pengangkut narkoba baik di dalam negeri maupun lintas negara. Namun, tidak jarang pula perempuan yang menjadi bandar kelas kakap, seperti Dewi Astutik, buronan BNN dan Polri yang diduga menjadi otak penyelundupan dua ton sabu-sabu di perairan Kepulauan Riau.
Sulistyo juga menggarisbawahi bahwa ibu rumah tangga dianggap memiliki “faktor keuntungan” dalam mengelabui petugas saat mengangkut narkoba. “Apalagi kalau perjalanannya pada malam hari dan tidak ada petugas perempuan. Petugas laki-laki kan tidak mungkin menggeledah perempuan. Apalagi kalau ada yang membawa anaknya,” imbuhnya, menjelaskan mengapa sindikat memilih mereka.
Pola yang Berulang
Pada konferensi pers Senin (23/06), Marthinus Hukom dari BNN kembali menegaskan bahwa perkembangan modus operandi sindikat yang merambah ke kalangan ibu rumah tangga perlu mendapat perhatian khusus. Senada, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, menyatakan “sangat prihatin sekaligus cemas” atas fenomena ini. “Dengan iming-iming penghasilan besar, para sindikat ini telah memperdaya para perempuan dan ibu-ibu yang dianggap mudah untuk mengelabui petugas,” ujarnya.
Di sisi lain, Kiki Mariani Situmorang, staf divisi Riset dan Program LBH Masyarakat, menekankan bahwa fenomena ini “bukan hal yang baru.” “LBH Masyarakat sudah sejak lama mencermati tren keterlibatan perempuan dalam jaringan peredaran narkotika,” ujar Kiki kepada BBC News Indonesia pada Rabu (25/06). “Kami melihat pola yang berulang, yakni perempuan dari latar belakang ekonomi lemah, yang merupakan pengasuh utama anak-anaknya, direkrut menjadi kurir atau dimanfaatkan dalam posisi rentan oleh jaringan narkotika.” Menurut Kiki, perempuan sering dipilih menjadi kurir karena dianggap “tidak mencurigakan, patuh, dan lebih mudah ditekan.”
Penelitian LBH Masyarakat pada tahun 2019 terhadap 307 perempuan yang dipenjara karena kasus narkotika menunjukkan data yang mencengangkan: 82% di antara mereka mempunyai anak, dan 83% adalah pengasuh utama sebelum ditangkap. Sejak 2016, LBH Masyarakat telah mendampingi 23 perempuan dalam kasus narkotika. Kiki menekankan, mayoritas dari mereka bukanlah bandar besar, melainkan kurir, pengguna, atau bahkan hanya menyimpan narkotika atas permintaan orang lain—biasanya pasangan atau keluarga. “Artinya, perempuan-perempuan ini bukan penggerak utama peredaran narkotika, tetapi justru menjadi kelompok paling rentan yang paling sering dijerat pidana berat,” ujar Kiki.
Asmara Juga Menjadi Motif
Selain faktor ekonomi, Kiki menyebut relasi romantis yang timpang sebagai penyebab lain yang membuat perempuan, termasuk ibu rumah tangga, dapat terjerat dalam sindikat narkoba. “Banyak dari mereka yang direkrut dan dimanipulasi oleh suami atau pacar. Sebanyak 27% responden penelitian LBH Masyarakat tahun 2019 mengaku terlibat karena pengaruh pasangan,” jelas Kiki.
Selain suami dan pacar, sindikat narkoba juga memanfaatkan manipulasi percintaan untuk menjerat ibu rumah tangga. Staf Penanganan Kasus LBH Masyarakat, Awaludin Muzaki, baru-baru ini mendampingi seorang ibu rumah tangga berusia 59 tahun yang diperdaya untuk membawa narkoba masuk ke Indonesia. “Klien kami didekati seseorang yang mengaku warga AS dan tinggal di Brasil. Mereka berpacaran. Setelah mendapatkan kepercayaan dari klien kami, pacar dia ini menyuruhnya ke Brasil,” ujar Awaludin kepada BBC News Indonesia.
Menurut Awaludin, ibu rumah tangga ini diberi banyak iming-iming, mulai dari uang saku hingga dibiayai tiket pesawat dan hotel di Brasil. Namun, sesampainya di sana, “pacar” ibu itu tidak pernah muncul. Dia malah bertemu dengan seseorang yang mengaku teman dari sang “pacar”. “Ibu ini lalu diberi satu koper berisi baju-baju sebagai hadiah. Ternyata lapisan dalam koper itu berisi kokain,” tutur Awaludin, mengungkap modus penipuan tersebut.
Faktor relasi percintaan ini turut digarisbawahi oleh Koordinator Persatuan Perempuan Residivis Indonesia (PPRI), Nofia Erizka Lubis. “Biasanya suaminya. Suaminya yang terlebih dahulu ditangkap. Akhirnya sang istri yang disuruh melanjutkan,” ujar Nofia ketika dihubungi Selasa (24/06). Nofia menekankan, dalam beberapa kasus, baik suami maupun istri sama-sama memiliki permasalahan adiksi zat terlarang. Adanya faktor kecanduan ini, menurutnya, menciptakan hubungan yang toksik. “Jadi bisa dikatakan, lebih tepatnya, para perempuan ini adalah ‘korban perasaan’, modus cinta,” tutur Nofia.
Di sisi lain, Nofia meragukan bahwa para perempuan—termasuk ibu rumah tangga—yang terjerat pihak berwenang sepenuhnya diperdaya oleh sindikat. “Pemain narkoba tidak ada yang lugu,” ujar Nofia. “Ketika dia berhadapan dengan hukum, dia tentu akan [berlagak] selugu mungkin.”
Kelompok Rentan yang Dimanfaatkan Sindikat Narkoba
Di Indonesia, perempuan masih menjadi kelompok yang rentan menghadapi diskriminasi baik secara struktur sosial politik maupun di mata hukum, papar anggota Komnas HAM, Anis Hidayah. “Secara umum, perempuan rentan dijadikan sasaran terhadap tindak kejahatan tertentu,” ujar Anis kepada BBC News Indonesia pada Selasa (24/06). Meski belum melakukan riset menyeluruh terhadap klaim BNN soal peningkatan jumlah ibu rumah tangga sebagai anggota sindikat narkoba, Anis mengatakan Komnas HAM “menaruh atensi terhadap tren ini.”
Kiki dari LBH Masyarakat kembali menegaskan bahwa perempuan, termasuk ibu rumah tangga, sering kali dijerat pidana berat meskipun peran mereka kecil. “Mereka kerap dimanfaatkan oleh sindikat karena posisi sosialnya yang tidak mencurigakan, serta lemahnya perlindungan hukum bagi perempuan dalam relasi kuasa yang tidak seimbang,” ujar Kiki. Menurut Kiki, regulasi narkotika perlu lebih sensitif terhadap gender dan faktor-faktor kerentanan. “Praktiknya saat ini, penegak hukum hanya terfokus pada apa yang mereka perbuat, bukannya mengedepankan pemulihan [rehabilitasi] dan perlindungan,” ujar Kiki, mengkritisi pendekatan yang ada.
Pada akhirnya, keterlibatan dalam peredaran narkoba hanya akan berujung pada kesengsaraan—tidak peduli seberapa besar uang yang dihasilkan. Silvi Agustina, 44 tahun, yang bebas pada Februari 2018 setelah hukuman 8 tahun penjara karena mengedarkan narkoba, mengakui hal ini. “Karena yang menanggung risiko itu bukan cuma kita, melainkan keluarga kita,” ujar Silvi yang asal Tangerang tetapi sekarang tinggal di Bali.
“Ketika saya dipenjara, ibu saya yang membesarkan anak saya sering ditanya-tanya sama guru sekolah: ‘Ini mamanya ke mana?’. Ibu saya kan tidak mungkin berbohong terus?” ujarnya dengan getir. Silvi, ibu dari dua orang anak, juga merelakan anaknya yang satu lagi untuk dibesarkan oleh mantan suaminya. “Kami sudah sepakat: selama anak baik-baik saja. Saya juga tidak mau egois,” ujarnya.
Risiko yang disebut Silvi itu jelas dirasakan Rieka di Padang. Saat ditangkap, Rieka mengatakan kepada anaknya yang masih kelas 5 SD bahwa dirinya akan bekerja di luar kota. Rieka merasa ada yang memberitahukan kepada anaknya bahwa dia di penjara, sebab anaknya sekarang irit berbicara kepadanya. “Sekarang, kalau saya menghubungi, dia hanya berbicara sedikit saja,” katanya, merasakan dampak emosional pada sang anak.
Pada tahun pertama Rieka menjalani hukuman, ayahnya meninggal dunia dan ibunya mengalami stroke. “Padahal saya mencari uang selama ini untuk membiayai mereka. Saat ayah saya meninggal, saya malah tidak bisa mengantarkannya ke kuburan,” ujarnya, menunjukkan kepedihan mendalam. Saat ini, masa hukuman Rieka sudah hampir selesai. Ia dijanjikan bisa keluar pada akhir tahun 2025. Rieka mengaku sudah kapok dan tidak akan mengulangi kesalahannya. “Kalau sudah keluar [penjara] nanti, saya tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya narkoba. Saya berencana akan membuat usaha menjahit saja,” pungkasnya, menyimpan harapan untuk hidup yang lebih baik.
Wartawan Halbert Chaniago dari Padang berkontribusi atas liputan ini.
Baca juga:
- Bagaimana serial Breaking Bad menginspirasi gembong narkoba yang punya ‘hubungan asmara’ dengan kepala lapas
- Terpidana mati kasus narkotika Mary Jane Veloso tiba di Filipina – ‘Saya berharap Presiden Marcos memberi grasi’
- BNN Aceh periksa kuliner yang dicurigai pakai ganja – Bagaimana sejarah ganja dalam hidangan tradisional Aceh?
Baca juga:
- Nasib istri merayakan Lebaran tanpa suami yang ‘disandera’ di Myanmar – ‘Dia dipukuli saat malam takbiran’
- Gembong narkoba Fredy Pratama diburu Polri: Di mana dia bersembunyi dan mengapa sulit ditangkap?
- Kisah aktris Bollywood yang dijebak sebagai pengedar narkoba
Baca juga:
- Euforia bisnis ganja di Thailand: ‘Sudah ada regulasi tapi penegakannya serampangan’
- Jaksa peras keluarga tersangka narkoba, ICJR sebut kasus penyalahgunaan narkotika sudah lama jadi ‘ladang uang’ aparat
- Mantan napi kasus narkoba mengaku korban penjebakan polisi : ‘Seolah-olah saya yang menemukan sabu, padahal aslinya tidak begitu’