Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
Finance

Perang Iran-Israel Ancam Neraca Dagang RI? Ini Kata Peneliti!

Beritasob.com, Jakarta – Konflik yang memanas antara Iran dan Israel berpotensi signifikan mengikis kinerja serta surplus ekspor Indonesia. Analisis ini disampaikan oleh Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran. Salah satu pemicu utamanya adalah potensi peningkatan biaya pengiriman dan transportasi global, terutama jika Selat Hormuz ditutup oleh Pemerintah Iran.

“Penutupan jalur strategis ini akan memaksa kapal-kapal untuk menempuh rute alternatif yang jauh kurang efisien. Menurut Energy Information Administration (EIA), gangguan di Selat Hormuz akan memberikan dampak besar pada pasar energi di negara-negara kunci seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan,” jelas Hasran melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu.

Indonesia sendiri telah menikmati rekor surplus neraca perdagangan selama lima tahun berturut-turut. Data terbaru menunjukkan, pada Mei 2025, surplus neraca perdagangan mencapai US$ 4,9 miliar. Angka ini melonjak tajam, meningkat sebesar 2.962 persen secara bulanan (month to month/mtm) dibandingkan surplus US$ 160 juta yang tercatat pada April 2025.

Hasran menekankan bahwa eskalasi ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran telah memicu kekhawatiran serius terhadap stabilitas perdagangan global. Dampak paling nyata dari konflik ini adalah potensi terganggunya pasokan minyak dunia. Gangguan pasokan ini, lanjutnya, sangat mungkin mempengaruhi sektor perdagangan Indonesia, baik dari sisi lonjakan biaya logistik maupun potensi penurunan permintaan dari negara-negara mitra dagang utama.

Pentingnya Selat Hormuz tidak dapat diremehkan, mengingat jalur ini merupakan koridor vital yang dilewati oleh sekitar 20 persen dari total transaksi minyak dunia pada tahun 2024. Meskipun Amerika Serikat hanya mengimpor sekitar 7 persen minyaknya melalui Selat Hormuz, potensi disrupsi terhadap pasokan global dapat menyebabkan pergeseran permintaan minyak dari jalur tersebut ke produsen-produsen alternatif, termasuk dari Amerika Serikat sendiri yang juga memiliki kepentingan dalam konflik ini.

Kondisi ini secara langsung akan mendorong kenaikan harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak tersebut akan berdampak langsung pada perdagangan Indonesia. Permintaan ekspor dapat terhambat secara signifikan karena tingginya biaya yang timbul dalam proses pengiriman logistik. Lebih jauh, gangguan pasokan minyak ke negara-negara pengimpor utama berpotensi menghambat aktivitas ekonomi mereka, yang pada akhirnya dapat memicu penurunan permintaan terhadap barang-barang ekspor dari Indonesia.

Melihat dampak potensial ini, Hasran mendorong pemerintah Indonesia untuk terlibat aktif dalam mendorong upaya perdamaian di kawasan Timur Tengah. Ia menegaskan bahwa konflik yang terus bereskalasi akan berdampak luas pada ekonomi dunia karena mengganggu jalur distribusi energi vital. Namun demikian, besarnya dampak yang akan dirasakan Indonesia sangat bergantung pada seberapa lama penutupan Selat Hormuz berlangsung.

Selain upaya diplomatik, pemerintah juga perlu mempertimbangkan penghapusan hambatan non-tarif dalam impor pangan dan barang strategis lainnya. Di tengah meningkatnya biaya logistik dan produksi global, biaya tambahan akibat kuota, perizinan yang berbelit, atau regulasi yang tidak relevan hanya akan semakin memperparah beban importir dan konsumen. “Penghapusan hambatan non-tarif dalam impor pangan dan barang strategis sudah sejak lama menjadi sesuatu yang layak dipertimbangkan, mengingat dampaknya yang memunculkan biaya tambahan, waktu yang lebih panjang, dan inefisiensi rantai pasok,” tutup Hasran.

Pilihan Editor: Untung-Rugi Ekspor Listrik ke Singapura

Related Articles

Back to top button