Jannah Theme License is not validated, Go to the theme options page to validate the license, You need a single license for each domain name.
Finance

Raja Ampat Cabut Izin Tambang: Untung Rugi Eksplorasi Pulau Kecil?

Kontroversi Tambang di Raja Ampat: Antara Pencabutan Izin dan Ancaman Pulau-Pulau Kecil

Pemerintah baru-baru ini mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat, sebuah langkah yang disambut baik oleh para pemerhati lingkungan. Namun, keputusan ini tidak berlaku bagi PT Gag Nikel, sebuah badan usaha milik negara (BUMN), yang memicu pertanyaan dan kekhawatiran baru.

Di balik keputusan ini, terungkap fakta yang lebih mengkhawatirkan: setidaknya 35 pulau kecil lain di berbagai wilayah Indonesia berpotensi mengalami dampak serupa akibat aktivitas pertambangan. Lalu, bagaimana sebenarnya untung dan rugi menambang di pulau-pulau kecil yang selama ini menjadi ruang hidup masyarakat lokal, “benteng pesisir” alami, dan pusat keanekaragaman hayati?

Pencabutan Izin di Raja Ampat: Antara Lingkungan dan Kepentingan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengumumkan pencabutan IUP empat perusahaan tersebut di Istana Negara pada hari Selasa (10/06). Keempat perusahaan tersebut adalah PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham.

“Alasannya adalah, pertama, lingkungan,” tegas Bahlil. Ia menambahkan bahwa sebagian wilayah pertambangan tersebut masuk ke dalam kawasan geopark.

Namun, pemerintah memutuskan untuk mempertahankan izin PT Gag Nikel, dengan janji pengawasan ketat. “Sekalipun PT Gag tidak kami cabut, tetapi atas perintah Bapak Presiden, kami mengawasi khusus dalam implementasinya,” jelas Bahlil. Pengawasan ini meliputi analisis dampak lingkungan (amdal) yang ketat, reklamasi yang cermat, dan larangan merusak terumbu karang.

Kontradiksi dan Kekhawatiran Lingkungan

Keputusan pemerintah terkait PT Gag Nikel ini bertentangan dengan pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebelumnya. KLH menyatakan bahwa operasional PT Gag Nikel di Pulau Gag seluruhnya berada dalam kawasan hutan lindung dan wilayah pulau kecil. Berdasarkan alasan tersebut, KLH berencana meninjau ulang izin lingkungan perusahaan dan memerintahkan pemulihan dampak ekologis.

Kerusakan yang Dipicu Pertambangan di Raja Ampat

KLH menyoroti dampak kerusakan yang disebabkan oleh perusahaan-perusahaan yang izinnya dicabut:

* PT Anugerah Surya Pratama: Diduga melakukan pencemaran akibat jebolnya settling pond dan aktivitas di kawasan suaka alam di Pulau Manuran dan Waigeo.
* PT Kawei Sejahtera Mining: Menambang di luar kawasan yang diizinkan di Pulau Kawe, yang merupakan pulau kecil di kawasan hutan produksi.
* PT Mulia Raymond Perkasa: Melakukan eksplorasi di Pulau Manyaifun dan Batang Pele tanpa dokumen lingkungan dan persetujuan penggunaan kawasan hutan.
* PT Nurham: Belum beroperasi, meskipun telah mengantongi IUP seluas 3.000 hektare di Pulau Waego.

Raja Ampat sendiri merupakan jantung keanekaragaman hayati laut dunia dan kawasan strategis nasional konservasi, yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden 81/2023.

Ancaman Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil Lainnya

Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, dengan lebih dari 16.000 di antaranya termasuk kategori pulau kecil. Data Forest Watch Indonesia pada tahun 2022 mencatat setidaknya 19.000 pulau kecil dengan total luas mencapai tujuh juta hektare.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, setidaknya 35 pulau kecil di Indonesia berpotensi terdampak pertambangan, dengan total 195 izin usaha pertambangan dan luas konsesi mencapai 351.933 hektare.

Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara menjadi contoh nyata ancaman ini. Sekitar 73% wilayah Kabaena telah dibebani puluhan IUP, menyebabkan penggundulan hutan, pencemaran laut, dan dampak signifikan terhadap mata pencaharian masyarakat adat Bajau.

Selain itu, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan mencatat bahwa hingga pertengahan 2023, setidaknya 226 pulau kecil telah diprivatisasi untuk kepentingan pariwisata, konservasi, hingga pertambangan.

Untung Rugi Menambang di Pulau Kecil

Koordinator Jatam, Melky Nahar, menekankan bahwa kerusakan pulau kecil berpotensi menimbulkan dampak ekologis yang tidak bisa dipulihkan. Pulau kecil memiliki fungsi ekologis penting sebagai benteng pesisir, wilayah tangkapan ikan, dan ruang hidup masyarakat adat dan nelayan. Pertambangan menghilangkan ruang cadangan dan alternatif lokasi bagi warga untuk hidup, sehingga kerusakannya bersifat total dan tak bisa dipulihkan.

Contoh kerusakan akibat pertambangan telah terjadi di Pulau Wawonii (Sulawesi Tenggara), Pulau Bunyu (Kalimantan Utara), dan Pulau Gebe (Maluku Utara), dengan pencemaran laut, pesisir, dan hilangnya mata pencaharian warga lokal. Masyarakat juga mengalami gangguan kesehatan akibat paparan debu, logam berat, dan limbah, serta kemiskinan struktural karena kehilangan lahan produksi.

Menghitung Kerugian Ekosistem

Pertambangan di pulau kecil menurunkan nilai kontribusi alam atau ekosistem terhadap manusia (nature’s contribution to people/NCP). Hirmas Putra, Dosen Ekologi di Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor, menjelaskan bahwa nilai ekosistem sebagai penyedia pangan, daya dukung pariwisata, dan serapan karbon dapat dihitung secara ekonomis.

Pulau kecil juga memiliki keanekaragaman hayati yang unik, termasuk spesies endemik yang terancam punah. Pembukaan pulau kecil untuk pertambangan dapat menyebabkan fragmentasi habitat dan hilangnya tempat tinggal bagi satwa-satwa tersebut.

Kontribusi Ekonomi Pertambangan: Antara Data dan Keraguan

Pemerintah mengklaim pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari Kementerian ESDM mencapai Rp269,6 triliun pada tahun 2024, dengan kontribusi dari sektor mineral dan batu bara sebesar Rp140,5 triliun. Namun, angka ini lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya.

Wishnu Try Utomo, peneliti di Center of Economic and Law Studies (Celios), meragukan angka tersebut dan menyebutkan bahwa realisasi PNBP minerba hanya sekitar Rp107,8 triliun. Ia juga memprediksi kontribusi pertambangan akan terus menurun karena tren global mitigasi krisis iklim dan potensi oversupply nikel.

Lebih lanjut, Wishnu menekankan bahwa kontribusi ekonomi sektor pertambangan tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Ia mencontohkan kasus pembuangan limbah tailing Freeport dan kerugian akibat PT Timah yang mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Secara nasional, Celios memperkirakan kerugian akibat industri pertambangan mencapai Rp60 triliun per tahun, termasuk deforestasi, pencemaran ekosistem perairan, dan biaya kesehatan.

Kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut membutuhkan waktu perbaikan yang sangat lama, sehingga biaya lingkungan tidak hanya berbentuk rupiah, tetapi juga waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan.

Related Articles

Back to top button